Pertimbangan dalam Memilih Pasangan
apakah sudah pasti pilihan kita benar? Tentu saja kita berharap iya, sayangnya bisa jadi tidak. Kenapa?
Istri saya sering kali bercerita kalau beberapa temannya heran kenapa dia bisa berhubungan dengan saya. Hal itu masih mending, karena beberapa teman saya justru heran kenapa saya bisa menjalin hubungan dengan lawan jenis. Saya juga heran sebenarnya.
Bisa saja dengan mudah saya mengatakan, “kalau sudah jodoh ga bakal kemana.” atau “kalau memang waktunya sudah pasti akan dipertemukan.” Walau pada realitanya begitu banyak hal yang saya pertimbangkan baik dari internal saya sendiri dan tentu saja termasuk kriteria untuk pasangan saya.
Memiliki kriteria untuk calon pasangan bukan berarti kita tidak percaya konsep jodoh. Sama seperti memilih-milih pekerjaan yang sesuai dengan keahlian kita bukan berarti kita tidak percaya bahwa rejeki kita sudah diatur.
Kriteria untuk memilih calon pasangan merupakan hal yang subjektif. Namun, kita harus berusaha tetap rasional dalam perkara ini. Terlebih calon pasangan yang kita pilih akan menjadi rekan kita seumur hidup.
Beberapa hal yang pada saat itu saya pertimbangkan dalam memilih calon pasangan adalah:
Penampilan
Saya pernah berpikir menjadikan penampilan sebagai salah satu indikator dalam memilih pasangan adalah hal yang tidak adil. Karena tidak semua orang diberkahi dengan penampilan yang menarik dari lahir. Saya sendiri sadar, kalau saya tidak ganteng-ganteng amat. Saya akan menilai diri saya 6/7 dari 10.
Namun, sebagai makhluk biologis tentu saja saya tidak bisa melepaskan diri dari rangsangan-rangsangan inderawi. Khususnya rangsangan penglihatan sebagaimana pria kebanyakan. Saya kira kita tidak bisa lepas dari rangsangan-rangsangan ini sepanjang hormon-hormon yang ada dalam diri kita masih bekerja.
Seorang teman pernah berkata, di kalangan umat Islam pertimbangan utama memilih pasangan adalah karena agamanya. Tapi ada salah satu mazhab yang justru memasukkan penampilan sebagai salah satu pertimbangan utama. Saya sendiri belum memverifikasi hal itu. Saya percaya saja pada teman saya karena memang dia lebih rajin mengaji daripada saya.
Penampilan atau ketertarikan biologis merupakan salah satu kriteria utama karena akan menjadi suatu masalah yang lebih besar apabila kita lebih tertarik melihat orang lain dibandingkan dengan pasangan kita sendiri suatu saat nanti. Namun kriteria ini bukan merupakan kriteria utama, karena kita tahu bahwa hal ini merupakan sesuatu yang rapuh.
Menjalankan Praktik Agama
Mungkin banyak orang akan menilai calon pasangannya sebagai orang yang "mengerti agama" atau tidak dengan menggunakan penilaian berdasarkan seberapa banyak ayat Qur'an yang dihafal maupun seberapa rajin sholat sunnah yang dijalankan. Saya berkaca dalam diri sendiri sepertinya saya tidak pantas menetapkan standar yang seperti itu terhadap orang lain terlebih jika saya sendiri belum mampu untuk menjalankannya.
Indikator "mengerti agama" yang saya tetapkan adalah menjalankan yang wajib dan menghindarkan diri dari yang haram. Hal-hal wajib dan haram yang saya maksud merupakan hal-hal yang biasa dimengerti oleh orang awam. Seperti kewajiban sholat, puasa, zakat, dsb. Sedangkan hal-hal haram yang saya maksud adalah babi, alkohol, dsb.
Bisa Bekerjasama
Saya menganggap bahwa keluarga merupakan salah satu bentuk organisasi. Ia memiliki fungsi Suami, Istri, Orangtua, Anak, dsb. Sebagai organisasi ia identik dengan pembagian tugas. Memiliki pasangan yang bisa diajak untuk bekerjasama adalah hal yang sangat penting.
Saya merasakan selama beberapa bulan menikah pembicaraan yang cukup banyak terjadi adalah besok masak apa, bagaimana mencuci pakaian ini, beli pengharum ruangan aroma apa, dll. Ya tugas-tugas rumahan yang tidak ada hentinya menuntut sebuah kerjasama yang baik.
Mampu Berkomunikasi
Elemen yang paling dominan dalam rumah tangga tentu saja komunikasi. Saya memiliki kelemahan dalam berkomunikasi pada lawan jenis. Terutama jika hal-hal yang dibahas bukanlah hal-hal formal seperti materi kuliah dan pekerjaan. Saya cenderung lebih banyak tidak tertarik dan tidak nyambung.
Mungkin jika dihitung berapa perempuan yang bisa saya ajak bicara informal dari sejak saya SD hingga kuliah jumlahnya hanya sekitar 10 orang atau bahkan tidak sampai. Tentu saja sudah pasti istri saya termasuk dalam salah satunya.
Simpulan
Itulah beberapa hal yang menjadi pertimbangan saya dalam memilih pasangan, tentu ada banyak pertimbangan lain seperti background pendidikan, suku, kediaman keluarga besar, dsb. Anda tentu bebas untuk membuat kriteria-kriteria anda sendiri.
Lantas apakah setelah seseorang cocok dengan semua kriteria kita maka sudah waktunya kita menikahinya? Belum tentu, memangnya anda sudah masuk ke dalam kriteria yang calon pasangan anda inginkan? Hehe
Lebih lanjut jika kita sudah memutuskan menikah, apakah sudah pasti pilihan kita benar? Tentu saja kita berharap iya, sayangnya bisa jadi tidak. Kenapa?
Pertama, ketika kita sudah memiliki ketertarikan kepada seseorang kita sangat sulit untuk menilai dengan objektif. Berapa banyak utasan-utasan di platform twitter yang menceritakan jika si sender ini menilai pasangannya bisa berubah setelah mereka menikah, namun ternyata tidak. Kita cenderung berusaha mencocokkan orang yang sudah kita sukai dengan berbagai macam pembenaran.
Kedua, kita adalah entitas yang bisa berubah hingga 180 derajat. Saya memiliki kenalan di FB yang dulunya terlihat sangat bersemangat dalam berdakwah, lama tidak update saya lihat kini ia tampak sangat alergi dengan hal-hal yang berkaitan dengan religiusitas. Saya juga pernah mengikuti orang yang dulu sangat mengedepankan rasionalitas dan sains, beberapa bulan lalu ia mengirimi saya pesan dakwah.
Pasangan kita dan diri kita sendiri juga bisa berubah. Jika suatu saat perubahan itu sudah sangat sulit untuk kita toleransi (Na'udzubillah) apakah artinya kita memilih orang yang salah? Menurut saya sih tidak. Beda lagi jika dari awal kita sudah salah menilai.
So, is She/He the one or am I the one for Her/Him? Well, we have a lifetime ahead to answer that.
Komentar
Posting Komentar