Memaksa Membaca
Beberapa bulan lalu
disela-sela kegiatan membersihkan meja belajar saya menyadari suatu hal. Selama
menempuh tiga tahun dibangku kuliah jumlah buku yang dibaca ternyata tidak
lebih dari atau masih lebih sedikit dibandingkan jumlah buku yang dibaca selama
dibangku SMA. Kalau saya mencoba mengingat-ingat memang kegiatan ‘literasi’ di
bangku SMA pada waktu itu terasa lebih hidup dengan lebih sering ke perputakaan
daerah, pinjam-meminjam buku dengan teman, bahkan salah satu buku bergenre
sejarah fiksi menjadi bahan perbincangan yang tak habis-habis dengan beberapa
teman saat itu. Karya agung Tolkien trilogi The Lord of The Ring ditambah novel
pembukanya The Hobbit pun bisa di khatamkan ketika SMA. (Saat itu belum
terdapat Silmarillion versi terjemahan dan bahasa inggrisnya terlampau tinggi
untuk dipahami.)
Entah mengapa di
masa perkuliahan dan menyandang ‘status’ Mahasiswa yang notabene akses ke
buku-buku berkualitas (yang ditulis oleh penulis-penulis besar) lebih banyak
justru kegiatan ‘literasi’ jauh menurun. Padahal jumlah game yang dimainkanpun
tidak jauh lebih banyak ketimbang pada waktu SMA (Bohong). Pada akhirnya hanya
bisa tersenyum kecut ketika beberapa teman seangkatan sudah menyelesaikan
buku-buku berat yang menunjang ‘idealisme’nya sebagai mahasiswa. Dosen pun
mencoba memotivasi bahwa wajib hukumnya bagi mahasiswa S-1 untuk membaca
setidaknya satu Jurnal dalam satu hari (yang mana hal ini juga tidak saya lakukan).
Takutnya apabila
nanti memasuki dunia kerja tidak akan ada waktu lagi yang diluangkan untuk
kegiatan membaca. Saya percaya bahwa membaca selain membuka jendela dunia,
membaca juga mampu membesarkan jiwa. Tidak terbayang apabila dulu sedikit anti
dengan buku-buku karya Agus Mustafa yang berjudul kontroversial seperti Akhirat
Tidak Kekal, dsb, saat ini sebelum menulis artikel ini 60% buku beliau
Terpesona Di Sidhratul Muntaha terbaca dalam waktu tidak sampai satu malam.
Alhasil
beberapa bulan lalu mencoba memaksakan diri kembali untuk mulai membaca lagi.
Di tahun 2018 setidaknya 20 buku harus terbaca. Memang terkesan tidak ikhlas,
tapi bagaimana bisa ikhlas apabila berlatih saja tidak. Sebagai penutup dan
catatan pribadi berikut buku yang sudah saya baca beberapa bulan kebelakang,
dimulai dari bulan September 2017:
1. Billions Entrepreneurs, bagaimana China dan India menata kembali masa depan
mereka dan anda ~ Tarun Khanna.
Sebenarnya buku ini
belum selesai terbaca karena membahas aspek-aspek perekonomian seperti saham
dan modal diselingi pembahasan hukum, social, politik yang masih terlalu tinggi
untuk dikonsumsi.
2. Putra-Putri Hurin~ Tolkien
Menceritakan salah
satu hikayat paling panjang dalam rangkaian Silmarillion dengan tokoh utama
Turin Turambar yang sering ditimpa kemalangan akibat egonya.
3. Inequality and The 1%~ Danny Dorling
Buku yang membahas
ketimpangan sosial dan orang-orang terkaya (the 1%) di negara Inggris yang
ternyata lebih tinggi daripada beberapa negara Eropa lainnya.
4. The Leader In You, cara mencari kawan memengaruhi orang
lain di dunia yang terus berubah~ Dale Carnegie & Associates, Inc.
Buku pengembangan
diri
5. Jalan Cinta Para Pejuang~ Salim A. Fillah
Cinta bukan hanya
romansa ala-ala remaja, di jalan para pejuang ‘Cinta’ lebih tinggi dari itu.
6.
6. The Blade of The Courtesans~ Keiichiro Ryu
Baru tahu di akhir
novel kalau arti Courtesans itu hampir seperti wanita penghibur atau pelacur.
Awalnya sangat lambat membaca karena memang tidak akrab dengan adat istiadat
jepang dan tata kota yang coba digambarkan penulis. Tapi begitu tersebut nama
Akechi Mitsuhide, Hideyoshi, Nobunaga, dkk dalam waktu tidak sampai seminggu
bisa terselesaikan.
7.
7. Terpesona di Sidratul Muntaha~ Agus Mustofa.
Menghayati
peristiwa Isra Mi’raj Rosululllah melalui sudut pandang yang berbeda.
Komentar
Posting Komentar