Mengenai Pacaran dan Resiko Kekeras(bebas)an Seksual
Opini jelek ...
Beberapa hari lalu
(Desember 2021) ramai pembahasan mengenai kasus pemerkosaan yang dialami oleh
alm. NW. Pembahasan awalnya didominasi mengenai kronologi, identitas korban
maupun pelaku. Diskusi kemudian beralih ke penanganan pelaku dan bagaimana
perlakuan keluarga korban terhadap korban. Diskusi berlanjut lagi mengenai
tindak-tindak pencegahan, pro kontra RUU TPKS dan Pemendikbud 30.
Beragam tanggapan
diucapkan netizen, salah satu yang membuat saya keheranan adalah opini-opini
yang menekankan pentingnya wanita untuk waspada justru dikatakan sebagai opini
yang jelek, menyalahkan korban, dan bahkan ada yang menganggap hal ini justru
melestarikan tindakan kekerasan seksual. Analogi sederhana seperti kita
yang harus menjaga barang kita dari pencuri justru dikatakan menganggap
perempuan sebagai barang dan menganggap laki-laki secara default adalah pencuri
ataupun kriminal.
Terlebih ada salah satu akun yang dicaci dengan membabi buta. Padahal saya lihat selain kasus NW viral akun tersebut juga membagikan kasus kekerasan seksual lainnya. Bisa jadi pemilik akun tersebut justru lebih perhatian dengan kasus kekerasan seksual dibandingkan dengan akun-akun yang baru memviralkan kasus NW ini. Hanya karena pendapatnya tidak sejalur dengan narasi yang sedang viral, ia dianggap sebagai bagian dari masalah.
Hindari risiko ...
Banyak orang kesal mengapa
perempuan yang harus diminta untuk waspada kenapa bukan laki-laki yang diminta
untuk tidak melecehkan perempuan. Bagi mereka narasi seperti ini akan membuat
perempuan selalu dipandang salah. Bahkan ada yang mengatakan kalau perempuan
menolak ajakan untuk menginap bersama dengan pacarnya justru akibat yang
ditanggung akan lebih berbahaya.
Merupakan hal sangat
berbeda antara mengatakan korban melakukan kesalahan yang sama besar dengan
pelaku dengan mengatakan bahwa korban telah memasuki daerah yang memiliki
risiko sangat tinggi. Karena perempuan yang lebih rentan menjadi korban bukankah
wajar diminta untuk lebih waspada? Tidak mungkin meminta pelaku untuk waspada
bukan?
Tentu kita harus mendidik
laki-laki untuk memperlakukan perempuan dengan bermartabat. Tapi dalam konteks
kasus pemerkosaan, pencurian, ataupun pembunuhan secara default kita
tidak akan memposisikan diri kita sebagai pelaku.
“Waduh, kalau saya perkosa anak ini bagaimana ya masa depannya?”
Masa sih anda berpikir begitu?
Saya pikir kebanyakan orang, ketika
mendengarkan kasus pemerkosaan tidak membayangkan bahwa suatu saat dia
akan memperkosa seseorang, kan? Justru karena kita bersimpati pada
korban dan kita takut menjadi korban maka kita akan berpikir bagaimana
untuk menghindari risiko menjadi korban.
Atau jangan-jangan anda
berpikir jika anda berisiko menjadi menjadi pelaku pemerkosaan? Misalkan dalam
kasus alm. NW kemarin apakah pernah anda berpikiran untuk membuat skenario
untuk memperkosa pasangan anda? Apakah anda pernah mengajak pasangan anda ke
hotel untuk melakukan perbuatan bejat tersebut? Apakah anda pernah berpikir
membeli obat bius/tidur untuk melancarkan aksi anda?
Saya masih memiliki
keyakinan bahwa kita lebih banyak khawatir akan risiko kita menjadi korban
tindak kejahatan dibandingkan dengan risiko menjadi pelaku kejahatan. Misalkan,
hari ini kita mendengarkan kasus pemerkosaan yang terjadi di Jl. Yang Lurus dan
pelakunya belum ditemukan. Menanggapi hal tersebut kira-kira mana respon yang
lebih masuk akal antara:
A.
Hati-hati kalau pulang jangan lewat jalan itu ya.
B. Jangan perkosa orang di
jalan itu ya.
Kalau anda memilih B
sepertinya anda perlu periksa kejiwaan lalu sekaligus menyerahkan diri ke pihak
berwajib. Kita tidak berpikir bahwa secara default lelaki itu jahat ataupun
tidak mau mendidik kaum lelaki untuk bisa menghargai wanita. Kita mengingatkan
orang untuk waspada karena kita khawatir akan risiko pemerkosaan.
Valid no debat ...
Menyadari risiko tersebut
netizen pun berbeda-beda pandangan. Sebagian orang berlaku ketat dengan
mengatakan bahwa peluang zina harus ditutup serapat mungkin, termasuk dengan
melarang orang-orang untuk berpacaran. Sebagian lagi bersikap longgar dengan
mengatakan jika perempuan dan laki-lakinya sama-sama ‘baik’ berduaan tanpa
busana di dalam hotel sekalipun tidak mungkin memicu tindak pemaksaan oleh
salah satu pihak.
Saya tidak menyangkal
bahwa kedua kondisi di atas sama-sama memiliki risiko terjadinya zina baik
dalam bentuk pemerkosaan dan seks bebas. Namun, apakah risiko kedua kondisi
tersebut sama besarnya? Apakah sama risiko orang yang berpacaran di kantin
fakultas saat jam istirahat dengan orang yang berpacaran di kamar hotel berdua
saja sama besarnya? Saya kira tidak, oleh karena itu setelah melakukan
identifikasi risiko, selanjutnya kita harus melakukan penilaian risiko.
Tujuannya adalah untuk bisa mengeliminasi risiko-risiko yang memiliki potensi
paling besar dan paling merugikan. Karena tidak bisa semua risiko bisa dieliminasi.
Saya masih berpikiran
positif, bahwa kebanyakan muda-mudi muslim di Indonesia masih eling dengan
larangan-larangan dalam agama. Ketika seseorang memutuskan untuk berpacaran
risiko itu meningkat. Ketika mereka sudah berani berduaan saja risiko itu bertambah.
Ketika mereka sudah berani berpergian keluar kota hanya berdua risiko itu meninggi.
Ketika mereka sudah berani untuk menginap di hotel berdua sudah pasti risikonya
sudah jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pasangan yang hanya berpacaran di warung
penyetan. Namun, harus diakui bahwa seseorang tidak berpacaran risiko melakukan
zina itu tetap ada.
Saya bisa mengerti kenapa
ada orang yang berpikir solusi terbaik untuk menghindari atau setidaknya
mengurangi tindak zina dimulai dengan tidak memperbolehkan remaja-remaja untuk
berpacaran, pria harus menundukkan pandangan dan wanita harus menutup aurat?
Bisa jadi hal ini benar dan merupakan solusi mujarab atas masalah ini dan saya
yakin sering terbukti di keluarga-keluarga yang menjunjung tinggi nilai agama.
Namun, saya berpikir bahwa
menjauhi zina dst lebih terdengar seperti tujuan daripada solusi
permasalahan. Saya kira kita bisa bersepakat bahwa masyarakat yang seperti
itulah yang ingin kita capai. Saya coba analogikan hal ini dengan kasus
pencurian. Apakah solusi pencurian adalah menjauhi tindak pencurian, yang kaya
harus bersyukur, dan yang miskin harus bersabar? Tentu tidak bukan?
Selanjutnya saya juga
berpikir solusi ini juga bukan sebuah solusi yang valid no
debat. Himbauan untuk tidak berpacaran misalnya tidak berlaku untuk
kasus-kasus zina yang dilakukan oleh orang yang tidak berpacaran. Misalnya
menonton video porno, suami/istri yang berselingkuh, orang yang menyewa jasa
plus-plus dan lain-lain.
Di sisi lain saya juga mengerti
argumen yang mengatakan bila pasangan anda bersedia untuk membooking kamar
hotel bersama bukan berarti pasangan anda otomatis setuju untuk melakukan
hubungan intim. Namun, bila pasangan anda melakukan pemaksaan tentu akan lebih
mudah bagi anda untuk menolak di tempat yang lebih ramai, di siang hari, atau
bahkan ada orang yang anda kenal di sekitar anda.
Begitu pula dengan konten
kreator di tiktok yang suka menari-nari dengan pakaian ketat dan/atau minim disertai
dengan caption yang entah apa maksudnya, bukan berarti mereka bersedia menerima
komentar-komentar yang bernada pelecehan. Namun pembuat konten harus mengerti
bahwa risiko tersebut ada. Mengatakan ini bukan berarti mewajarkan
komentar-komentar pelecehan tersebut dilakukan. Komunitas-komunitas yang
menolak pacaran sudah pasti akan melarang para pemuda komunitasnya untuk mengomentari konten wanita
yang menari-nari di TikTok dengan nada yang melecehkan. Jangankan berkomentar, melihat dan menikmati saja sudah dikatakan dosa
besar.
Penutup
Mungkin ada
yang berpikir dengan alasan di atas saya mengatakan silahkan saja orang
berpacaran asalkan sudah mempertimbangkan risiko-risikonya. Saya tidak mengelak
dari anggapan tersebut. Sebagaimana pula pada mereka yang mengatakan bahwa
pacaran itu haram dan berdosa. Saya menyadari itu dan tidak kontra dengan
pendapat tersebut, sampai sekarang saya tidak mencari-cari pendapat yang
mengatakan pacaran itu halal (kalaupun ada). Bagaimana mungkin pacaran bisa
menjadi halal sementara memandang yang bukan mahram dan bersalaman saja banyak
yang mengatakan bahwa itu haram.
Saya ingin mengatakan pada
orang-orang begitu yakin bahwa melarang orang pacaran adalah solusi yang valid no debat bahwa benar seks bebas yang dilakukan oleh pasangan di luar nikah adalah
tindakan yang yang haram dan tercela. Pemerkosaan yang dilakukan oleh pacar
sendiri juga haram, tercela, dan juga ada pihak yang secara nyata dirugikan.
Selain itu juga perlu disadari lagi kasus perzinahan yang dilakukan tanpa hubungan pacaran bisa
jadi jauh lebih bejat dan tidak masuk akal dibandingkan dengan dua kasus di
atas sebagaimana kasus yang baru-baru ini terungkap di salah satu pesantren
atau yayasan.
Komentar
Posting Komentar