Mengenai Teroris dan Rohis
“Aku percaya bahwa akan datang suatu hari dimana orang-orang dapat
saling mamahami.” -Jiraiya
13 Mei 2018 publik dikagetkan oleh
meledaknya tiga bom bunuh diri di tiga Gereja di Surabaya. Tak hanya itu
peristiwa ini pun dilanjutkan oleh baku tembak, ledakan lain, dan beberapa
penggerebekan terduga teroris. Pasca peristiwa sebagaimana kasus
terorisme terdahulu, ruang-ruang opini publik pun dipenuhi dengan
pembicaraan-pembicaraan mengenai revisi UU anti terorisme, keterkaitan pelaku dengan jaringan Al-Qaeda ataupun IS, dan juga
upaya-upaya deradikalisasi.
Saya sendiri tidak terlalu tertarik
untuk terus mengikuti pembicaraan-pembicaraan itu. Terlebih mengenai bahasan
upaya-upaya deradikalisasi pada jenjang siswa sekolah menengah pertama ataupun atas. Sudah semenjak dulu berulangkali digaungkan
bahwa benih-benih radikalisasi ditanamkan melalui organisasi-organisasi Rohis (Rohani
Islam) baik di tingkat SMA ataupun perguruan tinggi, bahkan SMP.
Seperti biasa pula berbagai tagar pasca
peristiwa berseliweran di media sosial yang menyuarakan hal-hal seperti
#TerorismHasNoReligion, #TerosisBukanAjaranIslam, dsb yang intinya menegaskan umat Islam tidak memiliki keterkaitan dengan terorisme.
Entah mengapa mungkin keresahan yang saya rasakan adalah satu diantara
keresahan sedikit orang atau malah satu-satunya orang -dengan keresahan- yang
ketika mendengar aksi terorisme sedikit terbesit dalam hati, “Semoga bukan
orang Islam lagi pelakunya.” Walaupun saya setuju bahwa (dengan wawasan yang
sangat sedikit ini) Islam sangat bertentangan terorisme, tetapi nyatanya
seringkali para pelaku teror memakai atribut Islami dan dikenal pula sebagai
seorang muslim yang cukup taat (biasanya oleh kesaksian tetanggga pelaku).
Keresahan ini kurang lebih sama seperti ketika dulu ada berita
mengenai aksi vandalisme di gunung Fuji di mana ditemukan coretan bertuliskan “Indonesia” pada
beberapa batu-batu besar di sepanjang jalur pendakian [1]. Walaupun memang belum tentu pelaku
vandalisme tersebut adalah WNI terbesit pula dalam
hati, “Semoga bukan orang Indonesia.”. Tentunya kita dapat bersepakat bahwa
aksi vandalisme tersebut sangat tidak
sesuai dengan orang Indonesia yang dikenal ramah, santun, berbudaya, atau apalah itu. Pada peristiwa yang lebih
sederhana misalnya mahasiswa A terbukti mencontek pada ujian mata kuliah B bisa
jadi juga terbesit harapan, “Semoga ia tidak berasal dari program studi yang
sama dengan kita, biar ngga malu-maluin kita.”
Pada akhirnya mungkin saja para pelaku
terorisme itu memang merasa dirinya adalah bagian dari komunitas muslim
Indonesia dan bisa jadi pula apabila ia sholat dibelakang kita, kita tidak bisa
mengenali bahwa ia adalah teroris. Memang suatu
kenyataan pahit bahwa pelaku teror tersebut bukan penganut teori Malthusian [2] radikal gila
seperti Thanos
si Mad Titan atau anggota
Akatsuki seperti Deidara [3]. Toh sebaliknya pasti
juga terbesit rasa bangga apabila ada orang islam yang bisa mengikuti seri balap
Moto-Gp, memenangkan olimpiade Sains, dan
menjadi astronot tanpa harus mengecek bagaimana sholat jama’ahnya, berapa
banyak hafalan Qur’annya,
dan anggota jamaah apa. Ataupun orang Indonesia yang menjadi pengajar di
Universitas ternama luar negeri, mendapat penghargaan dari kerajaan Inggris,
dsb (atau mungkin hanya saya yang terbesit rasa kebanggaan, entahlah).
Keresahan lain adalah apabila ditelusuri
latar belakang teroris tersebut, biasanya ia dikenal tidak pandai atau jarang
bersosialisasi dengan warga sekitar, -awalnya- awam dalam hal agama tetapi
memiliki ketertarikan untuk belajar agama, pernah mengikuti organisasi Islam
ketika semasa remaja. Maka rasanya tidak jauh berbeda
dengan saya (Na'udzubillahi mindzalik). Sempat terbayangkan bahwa pada saat si “calon”
teroris menghadapi pergulatan dengan paham terorisme di dalam dirinya, ia
adalah orang tersisihkan dari pergaulan sekitarnya. Tidak ada teman yang bisa
diajak bicara, karena kebanyakan remaja menurutnya belum bisa diajak diskusi
mengenai identitas keislaman, perjuangan palestina, dan menganggapnya remaja
aneh yang tidak bisa bersosialisasi. Tidak ada pula ‘wadah’ yang menaungi si
pendiam ini sehingga ia benar-benar terjebak sendiri dalam pencarian
identitasnya. Saya sendiri sempat merasakan pergulatan tersebut (Bukan pergulatan dengan
radikalisme
sih, tidak pernah sekalipun terpikir bahwa bom bunuh diri adalah hal yang benar), tapi Alhamdulillah ketika itu masih ada teman yang bisa diajak
bersepeda bersama, main game bersama, dsb. Masih ada juga organisasi SKI yang
mengenalkan kepada senior-senior yang terbuka dengan pertanyaan-pertanyaan yang
saya ajukan kala itu.
Karena kecocokan ciri-ciri di atas
(pendiam, penyendiri, dan memiliki ketertarikan dengan agama –dulu sih) bahkan
beberapa kali teman berkelakar, “Wah, kamu punya potensi jadi teroris nih,
haha.” Walaupun hanya gurauan saya sempat berfikir, “Apa cuma aku satu satunya
orang introver dan pernah ikut dalam Rohis
(Rohani Islam) yang berpikir bahwa aksi terorisme yang selama ini dilakukan
adalah hal gila?”
Kembali mengenai Rohis baik di tingkat
SMA ataupun perguruan tinggi, beberapa kali saya temui cerita teman tentang
orang tua mereka yang memperbolehkan mereka masuk organisasi apapun selama
tidak ada sangkut pautnya dengan agama. Sebagai salah satu orang yang pernah
mengikuti liqo, halaqah, dan mentoring rasanya sedikit kecewa. Di tengah
berbagai acara keislaman yang diperjuangkan mati-matian rekan-rekan saya dalam
mencari sponsor, kekurangan SDM, proposal yang tidak kunjung mendapat persetujuan,
pemateri yang tiba-tiba berhalangan datang nyatanya masih ada teman saya
sendiri yang masih tidak berkenan mengikuti acara-acara Rohis karena isu
terorisme. Mungkin bisa jadi memang salah kami sendiri tidak bisa
memperkenalkan diri dengan lebih elok.
Saya mengakui memang ada pemateri dengan
ceramah yang dianggap oleh sebagian orang merupakan benih-benih radikalisme
seperti misalnya pemateri yang kontra dengan beberapa kebijakan pemerintah,
tidak memandang Amerika sebagai negara demokrasi yang patut dicontoh, isu-isu
sekte dalam dunia Islam, kebanggaan terhadap identitas keislaman, dll. Tapi toh
berapa persentase acara-acara dengan materi seperti itu dibandingkan dengan
kajian Tauhid, kajian sejarah, kajian fiqih, seminar motivasi dan kepemudaan,
dll? Teringat pada saat SMA di sela-sela acara-acara SKI pun bahasan kami
(anggota Rohis) seringkali mengenai film yang baru ditayangkan, bagaimana akhir
perang dunia ninja ke empat, PR yang menumpuk dan dibiarkan bertumpuk, mau
lanjut kuliah dimana, si dia yang baru beberapa hari jadian udah putus. Tidak
selalu dan sepertinya tidak bisa selalu membahas mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan agama (“Dasar remaja muslim Jahil, mending hafalan Qur’an!!!”-
komentar warganet alim dan shalih).
Nostalgia dikit |
Selama masing-masing dua tahun di Rohis SMA dan
bangku kuliah belum pernah sekalipun saya mengikuti kajian yang baik peserta
kajian atau pematerinya mendukung aksi terorisme, mengkafirkan pemerintah,
menthogutkan Pancasila, meminta pesertanya menjauhi teman-teman non-muslim atau
melarang mengikuti upacara bendera (Beda ya sama malas mengikuti upacara
bendera). Bahkan tidak jarang diputarkan lagu Indonesia raya untuk mengawali
acara-acara akbar atau musyawarah besar. Adapun cerita-cerita teman
mengenai anggotanya yang menghilang secara tiba-tiba rasanya hal itu
belum tentu berkaitan dengan terorisme dan pengaruh dari Rohisnya. Saya sendiri
beranggapan bahwa organisasi-organisasi atau oknum-oknum radikal tidak akan
betah di organisasi-organisasi Rohis resmi yang diakui oleh instansi yang
bersangkutan. Tidak terbayangkan bagi saya pribadi para teroris tersebut
sembari menyiapkan bom di kosnya bersedia mengisi waktunya menjadi MC di acara tabligh
akbar, menjadi panitia gulung kabel di lomba nasyid, jualan tahu isi, terbul (terang bulan mini), dan es teh untuk santunan anak yatim,
ataupun menjadi panitia jaga parkir saat acara Rapat Kordinasi Nasional rohis.
Akhir kata sedikit saran dari orang yang pernah mengikuti
Rohis sebagai kader yang mengecewakan, fakir ilmu, serta pengalaman ini. Untukmu yang memang merasa organisasi Islam resmi di
sekolah atau kampusmu bermasalah cobalah komunikasikan dengan pihak-pihak yang
memiliki otoritas. Tentunya disertai dengan bukti konkrit dan pada tempatnya. Jangan melaporkan bahwa
organisasi itu menyebarkan rasisme atau diskriminasi ketika kajian yang dibahas
adalah masalah Aqidah Islam, bisa jadi kita yang salah paham.
Untukmu yang meragukan organisasi Islam resmi di sekolah atau kampusmu cobalah
ikuti beberapa agendanya dan pertanyakan kembali, “Apa benar benih-benih
terorisme tumbuh melalui acara-acara seperti ini?”. Untukmu pengambil kebijakan
pada organisasi Rohis mari sadari bahwa dengan keputusanmu kamu bisa ikut
berpartisipasi dalam upaya pencegahan paham-paham radikal, kriminal, dsb. Dan untukmu si introver yang sedang dalam bergulat dengan paham-paham radikal carilah teman bicara
semoga melalui dirinya dapat ketemu jalan yang benar, karena berjalan sendirian
tidak selalu menyenangkan.
[1] https://internasional.kompas.com/read/2014/08/07/18035931/Disesalkan.Vandalisme.di.Gunung.Fuji.Bertuliskan.Indonesia.
[2] Secara sederhana teori Malthus menyatakan
pertumbuhan penduduk yang lebih cepat dari pemanfaatan SDA merupakan sumber
masalah.
[3] Deidara tokoh antagonis serial Naruto dengan
prinsip, "Seni adalah ledakan."
~ 16 Mei 2018,
ditengah-tengah kebingungan mengerjakan analisis statistik.
Komentar
Posting Komentar