Half Fondo, Merindukan Kelelahan
Beberapa artikel menyebutkan
bahwa Half Fondo merupakan aktivitas bersepeda dengan jarak tempuh 75 km.
Sedangkan Grand Fondo memiliki jarak tempuh 120 km (75 mil). Satu hal yang
belum saya yakin apakah jarak itu sudah termasuk jarak kembali ke titik start
atau baru sampai finish saja. Kalau ternyata belum sampai titik start lagi, ya
malu juga kalau saya sebut rute bersepeda BSD-BOGOR-BSD sebagai Half Fondo
karena jarak yang ditempuh hanya sekitar 80-an km.
Beberapa waktu lalu untuk pertama
kalinya saya bersepeda dengan jarak lebih dari 80 km. Jarak ini 30 km lebih
jauh dari jarak yang saya tempuh beberapa bulan sebelumnya. Awalnya saya
merencanakan agenda bersepeda ke Kebun Raya Bogor di akhir tahun 2021. Karena
selama ini saya belum pernah bersepeda dengan jarak melebih 60 km.
Rasa jenuh membuat saya cukup
nekat untuk merubah rencana rute yang pada awalnya BSD-Tangerang Kota menjadi
BSD-Kebun Raya Bogor pada malam hari sebelum ‘hari H’. PPKM yang entah sampai
kapan ujungnya ini ternyata cukup berdampak bagi seorang introvert seperti
saya. Walaupun secara default rumah adalah zona nyaman saya, namun tidak
kemana-mana selama 8 bulan sangat menjenuhkan.
Apalagi mengingat beberapa bulan
sebelumnya saya sempat mengikuti sebuah pelatihan di daerah Bogor. Pelatihan
yang saya harap dapat sekaligus menjadi sarana refreshing itu ternyata tidak
seperti yang diharapkan. Pada waktu itu gelombang II Covid-19 memang sedang
mengganas, sehingga untuk keluar sejenak dari tempat pelatihan saja kami tidak
diperbolehkan.
Saat pikiran untuk merubah rute
bersepeda ke Bogor muncul, sisi lain saya berteriak-teriak seolah berkata,
“Jangan dulu, 60 km saja belum
pernah. Apalagi ke Bogor itu nanjak.”
Saya kemudian melihat catatan
waktu bersepeda di Strava yang menguatkan hal itu. Namun, ada sesuatu yang saya
lewatkan. Rasanya saya tidak bisa mengingat kapan terakhir kali bersepeda
hingga benar-benar merasakan lelah. Jarak bersepeda 20-30 km tidak lagi terasa
menantang selama beberapa bulan ke belakang.
Rencana bersepeda ke Bogor membuat
adrenalin meningkat. Sepanjang malam dipenuhi keraguan dan masih berpikir untuk
menyesuaikan dengan rencana awal ke Tangerang saja. Saya tonton video-video pesepeda rute
Jakarta-Bogor untuk menguatkan diri. Tampaknya karena terlalu excited
saya hanya tidur selama 3 jam. Saat bangun pun jantung berdebar lebih kencang
daripada normalnya (lebay, haha).
Pada akhirnya saya mantapkan hati
untuk mencoba rute BSD-Bogor dengan catatan, kalau capek ya berhenti, kalau
sudah tidak kuat ya tinggal putar balik atau pesan Taxi Online.
Pukul 05.10 saya mulai perjalanan
setelah pemanasan singkat. Walaupun sudah berdomisili di daerah ini selama
beberapa bulan ternyata bersepeda sebelum matahari terbit mampu menimbulkan
kesan baru. Orang-orang yang kembali dari masjid, toko-toko kecil yang baru
buka, truk-truk besar yang masih menunggu waktunya untuk jalan, semua itu
terasa baru. Satu hal yang tidak menyenangkan saat bersepeda pagi adalah entah
mengapa tukang tambal ban di sekitar sini jarang yang buka dari pagi.
Secara umum perjalanan cukup
lancar, bahkan bisa dibilang tidak sesulit yang saya bayangkan. Rute memang
terasa terus menanjak namun relatif menyenangkan. Saya berharap bisa sampai di
Kebun Raya sebelum jam 9 pagi. Kecepatan stabil di 14 km/jam, sangat berbeda
jauh dengan peleton road bike yang saya taksir berada di kecepatan 25-30
km/jam.
Beberapa kali saya berhenti untuk
memastikan jarak yang sudah ditempuh dan memastikan jalur yang akan dipilih.
Walaupun secara umum rute ke Bogor hanya tinggal lurus mengikuti jalan, saya
benar-benar tidak mau sampai salah mengambil jalan sesedikit apapun. Satu kali
berhenti untuk mengisi perut dengan snack ringan sekaligus melenturkan badan.
Kurang dari pukul 08.00 saya
sudah sampai di kota Bogor. Di benak saya ternyata bersepeda ke Bogor ternyata
cukup ringan. Baru saja berpikir seperti itu, saya langsung disuguhi segmen
Warjam-Kebun Raya. Sebuah jalan lurus sepanjang ± 4 km dengan elevasi yang
berhasil membuat saya terengah-engah. Hal yang membuat ‘malu’ adalah elevasi
segmen itu hanya 1,7 %. Bagaimana jika saya ketemu elevasi 12% ya?
Saya berhasil mencapai Kebun Raya
sekitar 08.30. Mengambil istirahat sejenak, kemudian memutari Kebun Raya. Saya
takut jika berlama-lama di situ justru akan membuang-buang energi yang masih
tersisa. Karena memang rencana saya untuk makan besar pada saat perjalanan
kembali setelah keluar dari Kota Bogor ketika 60% total perjalanan sudah
ditempuh.
Perjalanan kembali ke BSD relatif
terasa lebih cepat karena cenderung terus turun. Pasti akan terasa menyenangkan
bila tidak terganggu dengan panas matahari, kemacaten yang mulai terbentuk, dan
juga perut kosong. Rencana makan saya tunda karena bosan melihat soto mie, mie
ayam, dan ketoprak sepanjang jalan. Emang normal ya makan menu itu di pagi
hari?
Entah mengapa karena jenuh dengan
menu-menu tersebut, saya jadi ngidam soto lamongan atau pecel jawa timuran.
Sempat sekali berhenti di warung yang bertuliskan “Soto Surabaya” namun setelah
beberpa menit menunggu dan memanggil yang jualan tidak kunjung terlihat.
Untungnya dipertemukan dengan Soto Madura yang cocok dengan lidah Surabaya.
Singkat cerita saya bisa kembali
ke titik start pukul 11.30. Pegal di kaki yang mengganggu tidur terasa hingga 2
malam ke depan. Namun secara keseluruhan cukup menyenangkan. Setidaknya rute
Serpong-Bogor bisa saya rutinkan setidaknya 3 atau 4 kali dalam setahun.
Sebagai pengingat kalau dulu pernah bermimpi bisa bersepeda Surabaya-Malang.
Komentar
Posting Komentar