Sejarah, Prestasi dan Legitimasi Cita-Cita





Sejarah tidak selalu melahirkan seorang tokoh besar , justru kadang sejarah lahir
dari prestasi besar yang ditorehkan seorang tokoh. Sejarah kemenangan Islam di
Andalusia tidak melahirkan seorang tokoh bernama Thoriq bin Ziyad. Namun
sebaliknya, prestasi Thoriq bin Ziyad dan kematangannyalah-dengan izin Allahtelah
memasukkan Andalusia dalam catatsan sejarah sebagai tanah air kejayaan
Islam. Orang-orang besar dan para pahlawan yang lain demikian pula. Bagi mereka
apa yang telah mereka prestasikan dan bagi kita apa yang akan kita usahakan
meraihnya.

Prestasi adalah masalah ketepatan waktu. Setiap orang berhak bahkan harus untuk
mengisi waktunya dengan prestasi-prestasi yang dapat diusahakannya. Namun,
sejarah terlalu selektif dalam mencatat perstasi-prestasi tersubut. Sejarah ternyata
hanya tertarik untukmencatat prestasi-prestasi besar. Prestasi besar para pahlawan
akan dengan mudah kita temukan dalam kitab-kita besar sejarah, ensiklopedi dunia
dan nostalgia heroik anak manusia. Sedangkan prestasi-prestasi kecil, tempatnya
hanyalah di buku-buku otobiografi kecil, majalah-majalah temporal, atau buku-buku
usang di sudut-sudut perpustakaan.


Pun begitu, kita tentu tidak akan menyingkirkan prestasi-prestasi kecil kita,
sebagaimana sejarah’menyingkirkannya’. Namun merupakan suatu kebutuhan,
untuk mengkaji ulang bagaimana prestasi-prestasi besar itu ditorehkan. Agar ketika
saatnya tiba,kita tidak terlalu shock dengan prestasi-prestasi besar yang kita capai.
Shock ketika berprestasi besar hanyalah akan memunculkan sikap overconfidence
(terlalu percaya diri)

Lalu, bagaimana sebuah prestasi besar ditorehkan? Sebuah proses metamorfosis
yang kompleks, rumit, terjamin, adalah jawabannya. Prestasi besar pada awalnya
hanyalah sebuah cita-cita, kemudian bergerak menjadi suatu target yang
termotivasi (baca: azzam). Dari azzam ia menjadi satuan aktifitas kerja yang
terprogram (munaddhom), professional (itqon), dan sungguh-sungguh
(mujahaddah).

Proses selanjutnya adalah masalah timing atau ketepatan waktu sebagaimana disebutkan awal. Seseorang dengan aktivitas menuju cita-citanya adalah sebuah
bom waktu. Ia hanya menunggu waktu untuk meledakkannya. Setiap prestasi besar
adalah sebuah ledakan potensi seorang tokoh. Ledakan itu harus sesuai dengan
timing yang disepakati sejarah.Jika tidak, maka yang muncul hanyalah sebuah
letupan kecil.Tentunya letupan tidak sama dengan ledakan explosiv! Ledakan selalu
menempati porsi besar dalam pemberitaan manapun. Bandingkan saja antara
pemberitaan bom Hiroshima dan Nagasaki pada awal Agustus 1945, atau peristiwa
WTC 9 September (WTC 911) dengan ledakan di Legian Bali 12 Oktober 2002.
Begitulah… lagi-lagi sejarah hanya pedulu dengan ledakan-ledakan besar atau
dengan kata lain prestasi-prestasi besar.

Selanjutnya, mari kita menghubungkan antara sejarah prestasi dan legitimasi
cita-cita. Sejarah prestasi para tokoh dan pahlawan, sesungguhnya bermula dari
cita-cita mereka yang legitimate. Begini contohnya. Khalid bin Walid Ra, mengukir
prestasi kemenangan di medan Yarmuk, apa rahasianya? Singkat cerita, karena
sejak kecil ia telah memiliki cita-cita untuk mengukir prestasi di medan
Yarmuk.Sering kalidi masa kecilnya ia melakukan ‘survey lapangan’ di medan
Yarmuk, hingga ia faham betul strategi meraih kemenangan dimedan tersebut.
Puluhan tahun lewat, akhirnya strategi itulah yang mengantar pasukan Islam
mencapai kemenangannya. Contoh lain, pemuda bernama Hasan Al-Banna,dalam
perjalanannya naik kereta menuju kota Ismailiyah-kota tempat beliau bertugas
menjadi pengajar- menuliskan dalam diarynya, “Disinilah kejadian besar itu akan
terjadi”.Apa yang terjadi setelah itu? Tidak lebih dari dua tahun, ia berhasil
mendirikan sebuah organisasi da’wah terbesar yang paling ditakuti oleh Amerika
dan Inggris. Dan ketika operasi pembunuhan yang ditujukan kepadanya berhasil,
ratusan bahkan ribuan rakayat Amerika merayakannya dengan pesta! Kini prestasi
itu terukir indah dan abadi dalam sejarah pergerakan Islam abad 20. mereka-para
tokoh dan pahlawan- tidak sekedar memiliki cita-cita yang besar namun cita-cita
yang legitimate! Apa itu?

Begini, seseorang berhak memiliki cita-cita, baik anak kecil, orang muda maupun
tua. Sebagaimana hukum kekekalan energi, cita-cita tidak akan pernah habis atau
hilang, namun ia hanya akan berubah bentuk menyesuaikan realita.Cita-cita akan
berproses dan berkembang sesuai dengan bertambahnya usia dan berubahnya
zaman. Seorang anak kecilakan memulia prosesnya dengan mencita-citakan profesi
atau statusnya di tengah masyarakat. Ia ingin menjadi dokter, tentara, guru bahkan
presiden. Seorang pemuda akan mencita-citakan diri sesuai dengan idealisme dan
semangat heroiknya. Mungkin ia akan bercita-cita menjadi dubes, politikus,
pengusaha sukses.

Seorang dewasa yang mulai menekuni profesinya akan sedikit
realistis dalam bercita-cita. Ia mulai ingin memfokuskan pada prestasi
dilingkungannya; ingin menjadi pucuk pimpinan patai politik misalanya, menjadi
kepala bagian di kantor tempat ia bekerja atau mendirikan anak perusahaan disetiap daerah. Seorang yang telah tua, pensiunan misalnay, akan lebih arif dan
memiliki cita-cita yang bersifat ‘sosial’.Misalnya, mendirikan yayasan yatim piatu,
atau menulis biografinya. Begitulah cita-cita manusia secara umum. Perubahan
cita-cita itu dipenagruhi oleh banyak hal,diantaranya ; interest pribadi (factor
intern0 dan kebutuhan masyarakat (factor ekstrn).

Lalu, bagaimana cita-cita yang legitimatif? Apakah sekedar setinggi langit? Cita-cita
yang legitimatif adalah cita-cita yang tepat, pada orang yang tepat, dan pada saat
yang tepat pula. Ini sama sekali tidak berhubungan dengan the right man in the
right place . Sekarang coba kita bandingkan!
Seorang anak kecil yang bercita-cita menjadi direktur, dengan seorang mahasiswa
jurusan manajemen dengan cita-cita yang sama, mana yang lebih legitimate? Atau,
seorang mahasiwa dengan seorang pimpinan partai yang sama-sama ingin menjadi
presiden, mana yang lebih legitimate? Kita memang berhak untuka menagatkan
pada semua orang bahwa cita-cita kita adalah besar dan setinggi langit. Namun
tingkat legitimasi cita-cita tiap orang tentu berbeda. Seorang dengan tingkat
legitimasi cita-cita yang kecil adalah ‘bagai punguk merindukan bulan’ atau sama
dengan ‘jauh panggang dari api’. Sedangkan seorang dengan tingkat legitimasi
cita-cita yang tinggi adalah sebuah bom waktu. Ia tinggal menunggu saat yang
tepat untuk meledakkan prestasinya. Meledak atau tidak, sejarah akan tetap
mencatatnya. Baik sebagai pemenang dengan prestasi besarnya maupun sebagai
pejuang yang gugur dalam keteguhan memperjuangkan cita-citanya. Legitimasi
cita-cita adalah ‘formulir pendaftaran’ bagi yang mendaftarkan diri sebagai
pahalawan, orang yang membuat prestasi besar bagai kemashlahatan (kebaikan,
kemanfaatan) umat dijamannya.
Lalu, bagaimana sebuah cita-cita itu dapat memiliki tingkat legitimasi yang tinggi?

Pertama: Cita-cita tersebut harus lahir dari visi yang benar
Sahabat Rasulullah, Anas bin Malik, Ra adalah salah seorang yang sukses dalam
hidupnya.Baik didunia maupun di kahirat. Beliau, selain sebagai seorang ulama
terkemuka dijalannya juga mempunyai aktivitas dagang yang padat dan
menjanjikan. Lebih hebatnya lagi, beliau memiliki sekitar 70 orang anak yang lebih

dari setengah anak-anaknya telah syahid di medan jihad.
Suatu hari Anas ditanya oleh salah seorang sahabatnya, “Sejak kapan engkau
mencita-citakan kesuksesan yang telah engkau dapatkan saat ini??
Dengan mantap dan teguh Anas menjawab, “Sejak saya pertama kali mengikrarkan
laa ilaaha illallah”. Kesuksesan Anas bin Malik, berawal dari cita-cita yang timbul
dari sebuah visi yang jelas dan benar, yaitu visi laa ilaaha illallah muhammadar
rasulullah.

Visi bagi seorang muslim adalah aqidah, falasafah dan ideologinya dalam
beraktifitas. Kesalahan dalam memahami dan menentukan visi akan
mengakibatkan cita-cita tidak efektif. Visi yang islami yang jelas dan benar hanya
akan terbentuk oleh sebuah pemahaman aqidah dan keimanan yang lurus. Apakah
visi yang paling maksimal seorang muslim? Jawabannya singkat, padat dan berat,
yaitu ridho Allah SWT. Menggapai ridho Allaha adalah visi terbesar dan terberat
bagi seorang muslim. Visi ini harus senantiasa ada dan melekat di benak setiap
muslim. Visi inilah yang akan mengarahkan setiap aktifitas, pemikiran bahkan
cita-citanya. Seorang muslim dengan visi yang benar, akan mempunyai cita-cita
yang tidak kontraproduktif terhadap visi terbesarnya. Seorang dengan visi
menggapai ridho Allah dengan sendirinya tidak akan mencita-citakan sesuatu yang
menjauhkannya dengan dai ridho Allah. Kita ambil contoh begini, seorang muslim
dengan visi yang benar, tidaka akan bercita-cita menjadi pengusaha ternak babi
terbesar di dunia! Atau menjadi jajaran konglomerat koruptor yang dekat dengan
penguasa dan kebal hukum. Dengan demikian, setiap cita-cita yang menjauhkan
pemiliknya dari ridho Allah SWT secara otomatis menjadi tidak legitimatif.

Kedua: Cita-cita itu harus sesuatu yang besar dan agung
Setiap orang di dunia ini berhak mempunyai cita-cita. Menentukan cita-cita adalah
hak pribadi. Kita, tentu akan menghargai segala bentuk cita-cita, apapun itu, besar
atau kecil. Setiap orang berhak bercita-cita menjadi lurah sampai dengan presiden,
tho?Namun, kita disini akan memandang dari perspektif sejarah peradaban dunia
dan manusia. Sekali lagi, sejarah ternyata hanya peduli dengan prestasi-prestasi
besar. Sejarah ‘terlalu sombong’ untuk disibukkan dengan prestasi-prestasi kecil.
Contoh kasus, Berapa banyak sahabat Rasulullah? Mereka semua tentu mempunyai prestasi masing-masing sesuai dengan kemampuannya. Namun hanya beberapa
saja dari mereka yang ‘hidup’ di benak anak-anak umat sekarang ini. Hanya
beberapa dari mereka yang kisah hidupnya terdokumentasikan rapi bahkan dalam
berpuluh-puluh judul buku.

Apakah sejarah tidak adil? Tidak! Sejarah cukup adil dengan mendokumentasikan
seseorang sesuai dengan prestasi yang diukirnya. Jika prestasi tersebut kecil
sejarah tentu akan menghilangkannya atau cukup mewakilkan pada sejarah yang
lebih sempit untuk mencatatnya. Kita sedang berbicara ‘sejarah peradaban
manusia ‘ yang hanya peduli dengan pretasi-restasi besar dan agung. Prestasi
besar muncul dari cita-cita yang agung pula. Karena itu, cita-cita yang legitimatif
salah satunya besar dan agung! Cita-cita yang kecil kalaupun terealisasi tidak akan
mengubah jalan sejarah! Jadi, cita-cita menjadi legitimatif apabila cita-cita tersebut
terealisasikan dapat mengubah irama sejarah! Contoh: bagaiman jika cita-cita
membebaskan masjid al-Aqsa dari genggaman Yahudi dibandingkan ‘hanya’
dengan cita-cita membangun masjid megah di kampung kita? Mana yang besar dan
agung? Mana yang mengubah sejarah? Jadi..mengapa kita tidak membuat cita-cita
besar dan agung untuk merubah irama sejarah hidup kita??

Ketiga: Cita-cita itu harus Jelas dan dapat Didefinisikan
Cita-cita tidak sama dengan mimpi! Bukan pula angan-angan. Meskipun kadangkala
ia –cita-cita- merupakan metamorfosis dari keduanya. Pada awalnya cita-cita
berupa impian kemudian berubah menjadi angan-anagan. Dari impian menjadi
cita-cita. Namun, cita-cita menjadi tidak legitimatif jika masih dalam tahap impian
dan angan-angan.
Salah satu cirri tahapan impian dan angan-angan adalah adanya ketidakjelasan!
Seorang yang bermimpi akan mengatakan, “ Saya ingin memiliki mobil dan rumah
mewah”. Sedangkan seseorang yang bercita-cita akan mengatakan, “Saya akan
mendirikan perusahaan elektronik terbesar di negeri ini” otomatis dengan itu bisa
jadi ia dapat memiliki mobil dan rumah mewah bukan??

Kejelasan sebuah cita-cita sangat diperlukan untuk menentukan tingkat legitimasi
cita-cita tersebut. Lihatlah salah seorang sahabat dalam sebuah peperangan. Ketika
ditanya oleh Rasulullah SAW tentang cita-citanya maka ia menjawab dengan jelas dan mantap, “Saya ingin syahid dengan tombak tertancap di kerongkonganku ini”.
Dan cita-citanya yang jelas itu –dengan izin Allah- dapat terealisasikan. Atau lihat
saja bagaiaman Umar bin Khattab Ra menjelaskan cita-citanya dalam do’anya: “Ya
Allah, matikanlah aku di bumi nabimu SAW”. Cita-cita harus mempunyai titik
penekanan yang jelas dan tidak mengandung penafsiaran. Cita-cita yang teralalu
luas adalah bentuk lain dari angan-anagan dan impian dan hal tersebut dapat juga
mengindikasikan keragu-raguan seseorag dalam menentukan cita-citanya.
Kita sering mendengar orang berkata atau menuliskan tentang cita-citanya:
menjadi orang yang berguna bagi bangsa, negara dan agama”. Cita-cita seperti itu
pada dasarnya adalah baik namunmenjadi tidak legitimatif kerena ada
ketidakjelasan bahakan keraguan didalamnya. Contoh cita-cita yang jelas dan dapat
didefinisikan : mendirikan pesantern mahasiswa di kota X, pada tahun Y, dengan
nama Z. Secara tidak langsung, dengan cita-cita seperti itu, ia menjadi orang yang
bermanfaat bagi bangsa negara dan agama.

Keempat; Cita-cita harus seimbang antara sejarah potensi dan
kemampuan dirinya
Cita-cita sebesar dan seagung apapun, tidak akan legitimatif jika tidak sesuai
dengan sejarah potensi dan kemampuan seseorang. Contohnya sangat banyak
dalam sejarah. Khalid bin Walid, panglima terbesar dalam sejarah Islam, ternyata
mempunyai sejarah dan potensi besar dalam bidang militer. Begitu juga kecerdasan
dan keberanian Umar bin Khattab Ra. Rasulullah SAW pun secara tersirat
mengatakan bahwa yang terbaik diantara kaumnya dimasa jahiliyah adalah yang
terbaik dimasa Islam. Ini adalah pengakuan Rasulullah SAW terhadap kekuatan
potensi diri dimana setiap orang mempunyai potensi yang berbeda-beda. Jika kita
mengkaji sejarah para tokoh, kita adakan dapati mereka memiliki sejarah potensi
dan kemampuan yang realistis dimasa lalunya. Setiap orang yang berpotensi besar
di dunia ini pasti telah merintis prestasi-prestasi kecil sebelumnya. Jika seseorang
yang tidak memiliki ‘sejarah potensi’ kepimpinan dimanapun tiba-tiba ingin menjadi
menetri atau presiden, maka ada dua kemungkinan. Pertama, cita-cita itu tidak
legitimatif, yang kedua, bisa jadi cita-cita tersebut menjadi motivasi baginya untuk
memulai mengukir prestasi-prestasi kecil terlebih dahulu.

Kelima: Cita-cita harus efektif
Keefektifan cita-cita diukur dengan tiga hal:
1- keikhlasan, mengapa?
Sebuah cita-cita yang tidak diawalidengankeikhlasan, ketika terealisasi tidak akan
mendapat apresiasi apapun dari Allah SWT., meskipun sejarah mencatatnya. Coba
kita lihat Albert Einstein penemu rumus E=mc2 (cikal bakal bom atom), Thomas
Alfa Edison penemu bola lampu atau James Watt penemu mesin uap, sejarah
kemanusiaan boleh jadi mencatat mereka.Namun jika prestasi itu hanya untuk
memenuhi kebutuhan penelitian dan intelektualitas mereka, bukanuntuk
kemaslahatan umat manusia ,bisa jadi Allah memberikan penghargaan pada
mereka di dunia saj atidak untuk akhirat. Cita-cita yang tidak dilandasi keikhlasan
maka setiap usaha untuk meraihnya menjadi sia-sia dan tidak efektif

2- tingkat kebutuhan masyarakat
Cita-cita yang efektif harus mampu menjawab kebutuhan masyarakat.
Misalnya,ditengah-tengah masyarakat yang masih terbelakang dan primitif kita
bercita-cita untuk membangun sarana kesehatan , sarana pendidikan sarana social
yang terpadau dan berkesinambungan hal tersebut akan efektif daripada
mendirikan perumahan realestate atau mall disana

3- strategi perealisasian
Ketika sebuah cita-cita dijabarkan dalam strategi pencapaian yang bertahap, jelas
dan terarah maka otomatis cita-cita tersebuta kan efektif.
Bagaimana? Ternyata bercita-cita dan berprestasi adalah suatu yang niscaya
bukan? Dan bukan hanya ‘setinggi langit’, bukan? Namun legitimatif dan dapat kita
pertanggungjawabkan. Tentunya ini ula harapannya bahwa dengan menempuh
penddikan yang lebih tinggi semstinya kita mulai merencanakan dan
memperjuangkan cita-cita dan sejarah kita.



Dari http://www.indonesiaoptimis.com/2008/11/artikel-sejarah-prestasi-legitimasi.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenai Anime Monster (2004)

Trans Semarang dari Poncol ke UNDIP

The Lord Of The Ring dan Optimisme Akan Takdir