Ayo Menuntut Ilmu, Jangan Bangga Sebut Awam!

Kapanpun ada kesempatan, kita wajib meraih dan mencari ilmu
RUTINITAS keseharian kadangkala membuat sebagian dari kita menjadi  terhadap pentingnya menuntut ilmu. Hari demi hari pun dilalui tanpa adanya peningkatan kualitas ilmu. Akhirnya, banyak di antara umat Islam yang tingkah lakunya tidak lagi sesuai dengan ajaran Islam.

Pada saat yang sama umat Islam harus berhadapan dengan gelombang jahiliyah modern, yang menjadikan kebanyakan umat Islam kian jauh dari ajaran agamanya. Bahkan ada (karena ilmunya yang sangat minim) yang enjoy saja meninggalkan sholat. Tak nampak sedikit pun rasa gelisah apalagi merasa salah dan berdosa.

Hal ini tentu bukan perkara remeh, justru sangat serius. Sebab sholat merupakan rukun Islam yang menjadi pilar utama tegaknya keimanan dalam diri seorang Muslim. Dalam hadis disebutkan bahwa sholat adalah tiang agama. Siapa yang tidak mendirikan sholat maka ia telah merobohkan agama.

Belum lagi fenomena generasi muda yang kini boleh dikatakan cukup asing dengan al-Qur’an. Jangankan memahami kandungan al-Qur’an, membacanya pun jarang bahkan ada yang tidak bisa membaca al-Qur’an.

Hal inilah yang menjadikan mayoritas umat Islam terseret dalam arus materialisme-kapitalisme. Pergaulan bebas merajalela, kemaksiatan tak terkendali, dan tipu-menipu membudaya. Sampai akhirnya sampailah mereka pada kesimpulan sesat dengan mengatakan, “Mencari yang haram saja susah apalagi yang halal.”  Mengapa pikiran itu tidak kita rubah dengan mengatakan, “Lebih baik mencari sedikit asal halal dan berkah.”

Ada pula pemahaman agak menyesatkan yang menjadi penyakit banyak orang.  Sering di antara kita mengatakan, “Saya ini orang awam, tidak paham agama.” Atau “Saya bukan mahasiswa IAIN dan lulusan pesantren. Jadi biarlah ini diurusi anak IAIN.” Pernyataanya, sejak kapan kita menjadi Muslim? Jika kita menjadi muslim baru satu-dua tahun, layaknya para muallaf (orang yang baru memeluk Islam), maka, istilah awam menjadi benar.

Sebaliknya sangat ironis,  kita telah Islam semenjak lahir. Tetapi hingga usia kita di atas 30 tahun, kita masih juga menyebut diri awam (maaf, bodoh, red).  Jadilah kita menjadi awam seumur hidup.
Fenomena semacam ini sangat lazim kita jumpai. Bagaimana banyak orang berbanggga menjadi awam terhadap agamanya sendiri.

Dalam pengertian Islam, istilah awam yang benar, seharusnya seorang Muslim sudah mengerti dasar-dasar dan hukum agama. Namun dalam pengertian masyarakat saat ini, awam yang dimaksud adalah jahil, di mana ia justru tidak mengerti sama sekali hukum-hukum agamanya sendiri dan tidak ada usaha dan keinginan untuk belajar menuju lebih baik agar lebih mengerti. Yang terakhir inilah yang banyak kita dapati.

Mereka menjadi awam dalam ilmu-ilmu agama bukan karena otaknya bodoh, tetapi bisa karena ia tak mau dan tak ada usaha untuk mempelajari agamanya secara sungguh-sungguh. Selain itu juga karena mereka tidak memahami konsepsi ilmu dalam Islam.
 
Pemahaman sesat seperti itu adalah dampak dari kurangnya kepedulian umat Islam terhadap ilmu, sehingga iman terpenjara oleh kepentingan nafsu. Seorang Muslim yang imannya terpenjara oleh hawa nafsunya, maka akal dan pikirannya akan mendorong dia semakin jauh dari keberkahan hidup dunia dan akhirat. Dan itulah yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎).
Imam Al- Ghazali  dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin menjelaskan masalah-masalah aqidah dan ibadah wajib,  termasuk ilmu yang fardhu ‘ain (ilmu yang wajib dipelajari). Ilmu yang fardhu ‘ain adalah ilmu yang diperlukan untuk mengamalkan kewajiban sebagai orang Islam (individu).   Contohnya mempelajari ilmu wajib,  sunnah,  makruh, mubah dan subhat dan hal-hal berkaitan dengan syariat Islam adalah wajib.

Sedang ilmu yang fardhu kifâyah dibebankan sebagai kewajiban kelompok. Ilmu seperti ini contohnya  ilmu kedokteran, ilmu ekonomi dan ilmu-ilmu lain yang berkembang di masyarakat. Jika sebagian kaum Muslimin sudah menguasai ilmu itu, maka  gugurlah kewajiban sebagian kaum Muslimin lainnya.
Shalat yang benar, mengerti halal dan haram, benar dalam thaharah adalah kewajiban setiap orang Muslim.
Dengan ilmu seorang Muslim bisa mengenal Allah dengan benar. Dan, tanpa ilmu seorang Muslim bisa terseret pada bujuk rayu syetan. Oleh karena itu, ilmu adalah perkara pokok yang wajib bagi setiap Muslim.

Seorang Muslim, menurut Fakhruddin al-Razi (544 – 606 H), wajib memiliki ilmu sebelum memohon ampun kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎).
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. (QS. 47: 19).

Coba perhatikan ayat di atas, perintah berilmu (mengenal ketauhidan Allah dalam bahasa Al-Razi) Allah dahulukan daripada perintah memohon ampunan. Hal ini menunjukkan bahwa, seorang Muslim hanya akan mampu taat, tunduk, dan patuh kepada Allah  Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎)manakala ia benar-benar mengetahui dengan sebenar-benarnya siapa Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎).
Seperti yang telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim as, pertama yang diminta olehnya kepada Allah adalah ilmu baru kemudian kesholehan.

(Ibrahim berdoa): "Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang sholeh.” (QS. 26: 83).

Hikmah menurut Al-Razi adalah kesempurnaan pemahaman akan hakikat segala sesuatu. Jadi, nabi Ibrahim memohon kepada Allah agar dikuatkan kesempurnaan ilmu yang dimiliki, dan diberikan kekuatan untuk mampu mengamalkan ilmu tersebut, sebagaimana hamba-hamba Allah yang sholeh.

Dua ayat tersebut, cukup menjadi bukti bahwa menuntut ilmu (mengenal Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎) secara haq) adalah hal yang utama. Dengan demikian maka, setiap Muslim hendaknya setiap hari berupaya mempertajam keimanannya dengan berusaha secara serius mengenal Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎) dengan benar.

Di mana Menuntut Ilmu?

Secara umum, menuntut ilmu itu bisa dilakukan di mana saja, dan kapan saja. Tentu menuntut ilmu yang paling baik adalah ketika kita berusaha memahami, menggali, mengkaji, meneliti kandungan-kandungan firman-Nya di dalam al-Qur’an.

Atau bisa juga dilakukan dengan cara mengamalkan perintah-perintah Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎). Tentang sabar misalnya, maka praktikkan saja sabar itu, walau berat terasa. Sebab dengan cara mengamalkan itulah kita akan sampai pada satu pemahaman haqqul yakin bahwa sabar itu memang bermanfaat besar bagi kehidupan kita.

Perilaku kita harus berbeda dengan para orientalis. Di mana mereka mengkaji al-Qur’an dan Hadits namun tidak pernah mengimaninya. Hanya menjadi obyek penelitian semata.
Karenanya,  siapapun seorang Muslim yang banyak mengerti tentang Islam namun tidak atau jarang mengamalkannya, maka dia juga tidak akan sampai pada kenikmatan menjadi seorang Muslim yang sesungguhnya.

Budayakan Menuntut Ilmu

Sungguh kita tidak boleh lengah terhadap pentingnya ilmu. Imam Ghazali menyatakan secara tegas bahwa jika ada seorang Muslim yang selama tiga hari tidak mengisi hatinya dengan ilmu, maka ia akan menjadi bangkai berjalan. Ini menjadi bukti nyata bahwa ilmu benar-benar perkara utama.

Bagaimana kita membudayakan menuntut ilmu? Bisa dengan cara menghadiri majlis taklim, pengajian, majelis-majelis ilmu atau sengaja sungguh-sungguh kembali belajar al-Quran dan isi kandungannya, tafsirnya, dan hukum-hukum Islam secara teratur agar bisa mengamalkannya?

Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم)  bersabda, “Menuntut ilmu wajib setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah).

Dalam hadits lain  Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم)  bersabda, “Menuntut ilmu adalah wajib bagi Muslim dan Muslimah mulai dari dalam kandungan hingga liang lahat.” (HR. Bukhari).

Tentu pengertiannya tak terbatas dengan umur kita saat ini. Kapanpun ada kesempatan, kita wajib meraihnya.
Ilmu yang dimaksud Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم)  dalam hadits ini adalah ilmu yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah yang Allah wajibkan kepada setiap hambanya yang Muslim. Setiap muslim wajib mempelajari ilmu tersebut; karena sah atau tidaknya ibadah yang dilakukannya tergantung dengan pengetahuannya. Jangan sampai ketika usia kita sudah di atas 35 tahun dan telah memiliki banyak keturunan, kita masih tidak mengerti hal-hal dasar dan hukum-hukum dalam agama kita sendiri. Apalagi tetap bangga mengaku “awam”. Wallahu a’lam 

Dari : http://m.hidayatullah.com/index.php/Berita/detail/20427

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenai Anime Monster (2004)

Trans Semarang dari Poncol ke UNDIP

The Lord Of The Ring dan Optimisme Akan Takdir