'Akhwat' Itu Sudah Mulia





“Ibu kita Kartini
Putri sejati
Putri Indonesia
Harum namanya

Ibu kita Kartini
Pendekar bangsa
Pendekar kaumnya
Untuk merdeka
Wahai ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya
Bagi Indonesia
…”

Siapa cuba yang asing dengan lagu diatas??? Ya lagu itu sering dilantunkan ketika perayaan Hari Kartini yang diperingati pada 21 April. Banyak cara yang dilakukan dalam peringatannya terutama oleh sekolah-sekolah seperti lomba baca puisi, menyanyikan lagu diatas, memakai pakaian adat. (Jadi teringat masa-masa SD bersama teman-teman, hehe)


Media-media baik cetak maupun elektronik mengangkat tema “Ibu Kita Kartini” itu yang dikemas dalam semangat Emansipasi wanita, kesetaraan Gender dan sebagainya. Yang menunjukkan wanita itu bisa seperti laki-laki yang perkiprah hampir dalam segala aspek.

Lalu dijejaring social pun banyak yang mengangkat tema-tema serupa dalam kemasan yang berupa pula, jadi ya saya ikut-ikut sahaja sekaligus mengisi artikel pada blog.

Oke semuanya berintikan bahwa pada 21 April, kita diajak menengok masa lalu bangsa kita terutama kedudukan wanita yang hanya dianggap berperan di sumur, dapur, kasur. Nah sosok “Ibu kita Kartini” mengangkat derajat wanita dengan membuka semacam tempat pendidikan khusus perempuan. Dan pada akhirnya sosoknya-pun dianggap, “Pendekar Kaumnya”

Apabila saya liat dari realita sekitar maka saya dapati bahwa sebagian orang ( yang mengagungkan “Ibu kita Kartini” telah berlaku kurang adil dengan tidak mengagungkan Ad-Din Al-Islam, atau bahkan tidak sama sekali membanggakannya. Padahal jika kita tengok sejarah kita sepakati bersama bahwa derajat kemuliaan wanita sangat terangkat oleh Islam. 

Oleh paradigma yang memperjuangkan Emansipasi wanita inipun, memberi semacam keharusan bahwa kaum wanita memperjuangkan “Kesetaraan Gender”. Saya pun bertanya apa ini yang oleh para Srikandi Muslimah perjuangkan???

Coba kita hayati dan renungi beberapa bait yang saya ambil dari majalah Eramuslim Diggest 09 edisi Online :
“… perempuan-perempuan Aceh juga tampil sebagai pemimpin masyarakat bahkan panglima perang, seperti Laksamana Malahayati; Cut Nyak Din; Teungku Fakinah, ustadzah yang memimpin resimen laskar perempuan memerangi Belanda, usai perang Fakinah mendirikan pusat pendidikan Islam bernama Dayah Lam Diran; Cut Meutia, yang selama 20 tahun memimpin gerilya dalam belukar hutan Pase dan menemui syahid karena Meutia bersumpah tidak akan menyerah hidup-hidup kepada Kape (kafir) Belanda.

 Pocut Baren, pemimpin gerilya yang sangat berani memerangi Belanda (1898-1906); Pocut Meurah Intan alias Pocut Biheu, bersama anak-anaknya—Tuanku Muhammad, Tuanku Budiman, dan Tuanku Nurdin—memimpin gerilya di hutan memerangi Belanda hingga tertawan setelah terluka parah (1904); Cutpo Fatimah, sahabat Cut Meutia, puteri ulama besar Teungku Chik Mata Ie yang bersama suaminya, Tgk. Dibarat melanjutkan perang setelah Cut Meutia syahid, hingga dalam pertempuran 22 Februari 1912, Cutpo Fatimah dan suaminya syahid bertindih badan diterjang peluru Belanda.

Salah seorang pemimpin gerilya Aceh, Pocut Baren, namanya diabadikan menjadi nama sebuah resimen laskar perempuan Aceh “Resimen Pocut Baren”, bagian dari Divisi Pinong di Aceh semasa revolusi fisik melawan Belanda. Resimen perempuan ini sangat ditakuti Belanda karena terkenal dalam tiap pertempuran tidak pernah mundur atau pun melarikan diri. Mereka pantang menyerah hidup-hidup kepada penjajah.

Disebabkan ruang gerak perempuan Aceh yang amat luas, tiada beda dengan lelakinya, hal ini turut mempengaruhi cara berpakaian mereka. Prof. Dr. HAMKA menulis, “Di seluruh tanah air kita ini, hanya di Aceh pakaian asli perempuan memakai celana. Sebab mereka pun turut aktif  dalam perang. Mereka menyediakan perbekalan makanan, membantu di garis belakang dan pergi ke medan perang mengobati yang luka.”

Salah satu pejuang perempuan legendaris Aceh adalah Cut Nyak Dien, isteri dari Teuku Umar. Bertahun-tahun setelah suaminya syahid, Cut Nyak Dien meneruskan perjuangan, walau tinggal seorang diri. Dia bertahan di dalam gua di hutan dan meneruskan perlawanan walau dirinya sudah buta dan hanya ditemani 4-5 pejuang perempuan Aceh. Seorang pengawalnya tidak dapat menahan kesedihan menyaksikan penderitaan yang dipikul Cut Nyak Dien yang tabah. Didorong perasaan kasihan dan melihat kemungkinan perang sudah sulit dimenangkan karena kekuatan tidak lagi imbang, maka ia keluar dari hutan dan memberitahu serdadu Marsose Belanda tempat persembunyiannya itu. Belanda segera masuk hutan dan mendapati Cut Nyak Dien yang sudah tua, matanya buta, dan badannya sangat ringkih karena kurang makan. Tatkala opsir Belanda hendak memapah perempuan perkasa itu, Srikandi Aceh itu dengan tegas berkata, “Bek kamat ke, kapeh celaka!” (Jangan pegang tanganku, kafir celaka!”). Dengan tertatih dan berkali-kali tersandung dan jatuh, Cut Nyak Dien bersikeras berjalan sendiri tanpa dipegangi tangan si kafir keluar dari persembunyiannya.
Keteguhan Cut Nyak Dien ini membuat kagum HAMKA yang menulis: “Pikirkanlah dengan dalam! Betapa jauh perbedaan latar belakang wanita Aceh 358 tahun yang lalu itu dengan perjuangan wanita zaman sekarang. Mereka itu didorong oleh semangat jihad dan syahid karena ingin bersama menegakkan agama Allah dengan kaum laki-laki, jauh daripada arti yang dapat kita ambil dari gerakan emansipasi wanita atau Feminisme zaman modern sekarang ini.”
…”

Nah dengan semangat Jihad bahkan mencari Syahid itulah yang membuat kemuliaan wanita para Srikandi Muslimah benar-benar terpancar. Itu juga yang terpancar dari Khadijah yang menjadi tonggak Dakwah Rosulullah, Nusaibah bin Ka’ab yang menarikan pedang dengan tangan kirinya karena tangan kanannya terluka saat perang menumpas Nabi palsu Musailamah Al-Khazzab juga keluarganya memperoleh syahid semua hingga dijuluki “Perisai Rosulullah”, Aisyah Al-Humaira (radiallahu anhuma) yang mengajarkan sabda-sabda Rosulullah.

Sungguh sangat berbeda dengan ‘mereka’ yang memperjuangkan kesetaraan gender, hak asasi untuk memakai rok pendek, apalagi yang menyerukan “Ya pikiran laki-laki saja yang salah karena mesum melihat wanita seksi”

Seindah-indah perhiasan adalah wanita Sholehah, dan pada dasarnya wanita itu sudah dimuliakan Islam….


A.A.
22 April 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenai Anime Monster (2004)

Trans Semarang dari Poncol ke UNDIP

The Lord Of The Ring dan Optimisme Akan Takdir