Cerpen : Renunganku


Cerpen : Renunganku

Adzan Shubuh berkumandang memecah gelapnya malam dan menyajikan kesyahduan yang begitu indah. Aku segera mengambil air wudhu dan memenuhi panggilan-Nya ke Musholla terdekat. Terus berpikir aku sepanjang jalan rumah-rumah masih terlihat gelap pertanda sang empunya masih terdidur pulas. Ya tidak heran punca kenikmatan tidur memang dirasa pada saat-saat seperti ini, apalagi udara pagi yang masih terasa menusuk tulang belulang.


Setibanya di Musholla para jama’ah sudah cukup terlihat banyak mungkin ada sekitar tiga shaff sepertinya banyak dari mereka sedang melakukan Sholat Sunnah Rawatib, sebagian terlihat nikmat membaca Qur’an maupun Dzikkir tapi ada satu orang yang membuatku langsung cemburu yaitu seorang Jama’ah, tampaknya itu anak tetangga baruku yang aku dengar sedang Kuliah di Surabaya dia memang jarang ada dikampung sehingga aku tak begitu mengenalnya, penampilannya bisa dibilang cukup berbeda dari kebanyakan Jama’ah dikampungku yaitu berjenggot tipis dan rapi dengan celana cingkrang sedang menengadahkan tangannya sambil bercucuran air mata, “Oh indahnya.” Batinku.

Dan akhirnya setelah cukup lama ‘sang’ Imampun datang banyak Jama’ah berdiri menyambut dan menyalaminya. Tapi aku hanya duduk saja ku lihat anak tetanggaku itu juga duduk diam menunggu Iqamah, seperti biasa aku tak begitu suka dengan kelakuan yang berlebih semacam itu. Selesai sholat ‘sang’ Imam mengadakan ceramah pagi, tampaknya anak tetanggaku itu ikut mendengarkan dengan Khidmat. Tapi jam sudah menunjukkan pukul 5 pagi aku teringat janji pada ibuku untuk membelikannya beberapa barang di pasar dekat Kabupaten jaraknya cukup jauh yaitu 15 km dengan sepeda tapi tak apalah semangat pagi dan semangat muda masih membara, lagipula pemandangan sepanjang perjalanan sangat indah dari pada pemandangan di kota yang biasa aku lihat di TV dan internet juga pengalamanku dulu setahun di Surabaya. Jadi akupun meninggalkan Kajian lebih dulu. 

Perjalanan dimulai aku kayuh sepedaku dengan lambat namun pasti, kutebar pandanganku menikmati indahnya ciptaan Illahi. Pohon-pohon pinus dan meranti dengan daun hijau rindang menemani sepanjang jalan, sungai jernih dengan bebatuan cukup besar menjadi objek di kiri jalan, udarapun masih terasa cukup dingin, tampaknya sang mentari masih malu-malu menunjukkan keperkasaannya.  Tapi tiba-tiba ada satu yang sangat mengganggu pemandanganku yaitu dua orang pemuda dan pemudi berjilbab yang sedang bermesraan diatas sepeda motor menghadap kearah terbitnya sang mentari. Mengingatkanku akan seorang Akhwat yang aku sukai dulu yang harus pindah ke Banda Aceh bersama orang tuanya. Rasanya kadar O2 langsung menipis, daun-daun hijau berguguran menusuk sekali dihati melihat ‘pemandangan’ seperti itu tak takut dosa kah mereka? Tak kuat melihatnya kukayuh secepat mungkin sepedaku meninggalkan pemandangan seperti itu. Jujur aku sangat menaruh rasa hormat pada setiap wanita berjilbab, tapi dari beberapa sumber yang kudapat, kusadari sebagian dari mereka mungkin hanya berjilbab untuk menutupi kekurangan dan mempercantik diri mereka. Tapi ya sudahlah.

Aku tiba dipasar pukul 6 pagi tampaknya cukup menguras tenaga juga, pasar sudah penuh sesak oleh para pelaku Ekonomi.Aku mencari toko yang menjual barang-barang yang dibutuhkan Ibu. Tapi kudapati toko itu masih tutup ya sudah aku mampir ke warung diseberang jalan untuk membeli teh hangat dan nasi pecel sambil menunggu mungkin saja beberapa menit lagi toko itu akan buka. Sudah pukul 6.30 tak biasanya toko itu masih tutup akupun bertanya-tanya pada orang sekitar dan aku dapati si pemilik toko Pak Hadi sedang terbelit kasus hukum dengan salah satu pejabat. Aku hampir tak percaya satauku beliau orang baik-baik, kata Bapak beliaupun tak ingin riba sehingga dagangannya terbilang cukup laris dibanding dengan yang lain orangnya pun cukup dermawan dan shalih. Aku hanya bisa berharap semoga beliau diberi kasabaran oleh Allah swt.

Aku mencoba mencari di toko lain tapi harganya cukup jauh berbeda, ditawarpun belum cukup seandainya saja tadi aku tidak membeli segelas teh hangat dan pecel pasti cukuplah. Maklum kami hanya keluarga miskin jadi jarang membawa uang berlebih. Aku sedikit ragu untuk langsung pulang kerumah biasanya sih ibu sudah tau pasti ada apa-apa yang terjadi kalau aku tidak langsung pulang. Dengan semangat yang sebagian sudah hilang aku meninggalkan pasar dan bersepeda tanpa tujuan sedikit melamun.
Jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi ternyata sepeda ku tercinta ini membawaku ke Masjid Asy-Syifaa yang merupakan Masjid terbesar di daerah ini. Aku memilih untuk singgah sejenak melepaskan penat juga sakit hati melihat pemandangan tadi dengan Sholat Tahiyatul Masjid dan Duha, 4 rakaat menjadi santapan selesai sholat aku memilih duduk-duduk di beranda Masjid menikmati indahnya pemandangan pegunungan di sebelah barat, di sebelah utara terpampang hutan pinus dan beberapa hilir sungai. Dengan lantunan Al-Qur’an surah Ar-Rahman yang dibaca seseorang yang cukup renta menemani. Membuatku berpikir sebagus apapun lagu yang dibawakan Maher Zain , Irfan Makki, Yusuf Islam masih tak selevel dengan apa yang kunikmati sekarang. Tapi sedikit ‘terusik’ oleh lomba “Orasi Islami” yang diadakan ReMas Masjid ini di bagian selatan Masjid.

Kuamati ternyata ada seorang pemuda duduk termenung pandangannya tak jelas kemana mungkin sedang bercakap dengan rumput basah yang bergoyang. Sambil sesekali tersenyum, mungkin perahu hatinya sedang terjebak pada indahnya pelabuhan cinta sepertiku dulu. Tiba-tiba aku teringat sosoknya yang bagaikan bidadari lebih indah dari mentari pagi, jilbabnya yang selalu rapi, senyumnya yang mempesona, pribadi yang sholehah, ramah, cukup kritis dan pintar membuatnya menjadi kembang desa eh bidadari desa, orang tuanyapun dipandang sebagai sosok berpengaruh di desa. Banyak dari temanku yang berusaha mendekatinya tak seperti aku yang jarang bertegur sapa bercanda pun sangat jarang, bahkan tak pernah mungkin aku terlalu malu. Tapi setauku ia tak mau berpacaran, mungkin rasa setianya hanya diperuntukkan bagi pasangan yang halal baginya kelak.  Aku hanya tersenyum kecil dan bergumam, “Hah, Mungkinkah dia menungguku?”

“Astaghfirullah.” Batinku jangan sampai aku terjebak pada fitnah wanita. Untuk membuyarkan renunganku tadi akupun pergi kebagian samping Masjid melihat lomba tadi yang ternyata sudah sampai pada pembacaan Nama pemenang, aku sedikit tercengang dengan si pemenang. Ya dia adalah teman satu SMA ku yang aku nilai sekuler memang dia pintar, pandai bergaul ya banyak keunggulannya tapi tetap saja aku rasa ia belum pantas untuk berdakwah disekolah saja aku jarang melihatnya Sholat. Terus terang, aku tidak suka dengan pujian juri terhadapnya. Bukan karena aku iri hati, atau aku menginginkan kesempatan berorasi, aku sendiri kalau diminta mengisi orasi itu, belum tentu bisa melakukannya. Tetapi aku melihat, siswa itu bercorak sekuler, jauh dari nilai-nilai Islami. Dia sangat mendukung budaya “glamor klas menengah” di sekolah. Menurutku, orang seperti itu tidak layak berbicara tentang Islam. Dia hanya bicara Islam dalam tataran teori, bukan sebagai tanggung-jawab. Namun, di mata juri-juri itu, sosok seperti pemuda itu sudah dianggap memadahi untuk berbicara tentang Islam. Maklum, segala sesuatu diukur dari sisi seremoni, bukan tanggung-jawab. Dan terpati satu pertanyaan dihati, “Apakah dunia dakwah sudah kehabisan para jundi-jundi dakwah?”  ya sudahlah semoga Allah memberinya hidayah.

Aku kembali duduk termenung hingga kudapati anak tetangga baruku berada di halaman parkir. Dia  masuk kedalam Masjid lalu melaksanakan beberapa Sholat Sunnah lalu berdzikkir, aku biarkan saja tapi selesai berdzikkir aku melihat langkahnya menuju ke arahku, wah aku kurang pandai bergaul dengan orang baru. “Assalamualaikum Warohmatullah.” Sapanya dengan senyum kecil “Wa’alaikumsalam Warohmatullah.” Jawabku berdiri beliau pun menjulurkan jabatan tangan yang aku sambut. Aku jadi teringat akan salah satu Hadist Fadhail Amal tentang berjabat tangan yang kurang lebih berbunyi, “Tidakklah berguguran dosa seorang muslim seperti dedaunan kecuali saat mereka berjabat tangan.”

“Antum sedang apa dek?” tanyanya kujawab seadanya saja entah mengapa aku menjadi ingin membicarakan hal-hal yang membuatku terheran-heran sepanjang perjalanan tadi. Sebelumnya aku berkenalan dan aku dapati kakak itu bernama Asadil Abdillah yang sedang Kuliah IAIN Surabaya. “Berdakwah itu enak lho, menyeru pada yang benar. Apalagi kalau dek Khalid sudah bisa mengaplikasikan Dakwah adalah Cinta. Pasti sangat indah rasanya.” Katanya dengan nada yang pasti. Diawali dengan tarikan napas aku memberanikan diri untuk meminta pendapatnya atas relita yang aku temui aku pun mulai bertutur kata panjang lebar. Lagi-lagi disambutnya dengan senyum. Iya senyum memang sedekah ‘termudah’.

Kakak itu memandang kearah mentari sejenak lalu, “Alhamdulillah, saya sangat bersyukur masih ada pemuda seperti Antum didaerah ini yang masih mau peduli dengan realita-realita yang terjadi pada masyarakat kita. Untuk yang pertama memang hati siapa yang tidak pilu melihat wanita berjilbab yang seharusnya menjadi cahaya malah ikut termakan Propaganda buatan Syaithon dan antek-anteknya. Mereka benar-benar mengerti bahwa wanita adalah perhiasan terindah untuk itu mereka menyusun berbagai paradigma untuk menikmati keindahannya dengan menunjukkan betapa bahagianya Pacaran, berduaan dan sebagainya lewat sinetron, film maupun novel. Mereka diberi pandangan bahwa cinta pada lawan jenis harus diperlihatkan, dibicarakan. Tapi jika diajak berbicara soal cinta pada Allah maupun Agama mereka berdalih bahwa cinta pada hal-hal itu harusnya ditunjukkan dengan perbuatan bukan dibicarakan. Jadi yang dibicarakan hanya cinta pada lawan jenis padahal kalau kita buka Al-Qur’an serta kitab-kitab hadis banyak ayat maupun teks hadist yang memberi penghargaan kepada mereka yang mencintai Allah, yang mencintai orang-orang beriman.

Mereka juga menjadikan wanita sebagai komoditi untuk dikonsumsi masyarakat, sungguh ini malah menurunkan derajat wanita contohnya dengan pegawai wanita yang harus tampil seksi dan menarik, iklan pemutih kulit, SPG, majalah dan banyak lagi. Mereka diibaratkan setara dengan perhiasan emas, perak yang keindahan tubuhnya boleh diperlihatkan padahal menurut kakak wanita jauh lebih ‘indah’ dari itu. Islamlah yang benar-benar memuliakan wanita agar keindahannya tidak dinikmati orang-orang dengan pikiran negatif.”

“Untuk yang kedua kakak tak bisa berkomentar banyak karena kakak memang tidak tau menau masalah real nya. Takutnya nanti tidak objektif dan adil dalam menilai kan, Objektif dan Adil itu merupakan seruan agama. Mungkin memang hukum di negeri ini tak berjalan sebagaimana mestinya apabila sudah menyangkut paut orang besar, Antum tau sendiri kan? Tidak seperti Islam pada masa Rosullullah dan beberapa generasi terbaik setelahnya, apabila anak dari seorang pembesar mereka mencuri maka pastilah di hukum potong tangan apabila berzinapun akan dicambuk atau malah dirajam. 

Sedang yang ketiga ini yang cukup pelik beberapa aktivis dakwah tidak meniatkan karena Allah, dakwah mereka pun tidak disertai kecintaan, rasa sedia berkorban dan berani menerima rasa sakit. Padahal pengorbanan menyeru pada jalan yang benar telah membuat para para pengemban dakwah merasakan kepelikan, kegalauan, dan sakit lahir maupun batin yang amat sangat, pantaskah kita bersantai dalam senda gurau dan canda?
Tak bertanggung jawab atas apa yang dibicarakannya. Sebagian pun terlalu mementingkan Mashlahat Dakwah hingga memilih cara-cara yang sebetulnya menyimpang dari Manhaj Dakwah Rosulullah, bahkan Sayyid Quthb sampai berkomentar mereka telah menjadikan Mashlahat sebagai  ‘berhala’ baru. Untuk itu seharusnya antum memperbaiki kualitas antum sehingga menjadi seorang yang pantas untuk menyerukan Dakwah dengan konsep Dakwah bil Hikmah bukan hanya Dakwah fil Lisan.” Cakapnya panjang lebar.

Aku kagum dengan pandangan yang seperti itu, diskusi terus aku lakukan hingga sang mentari telah terasa panas menunjukkan pukul 9 lewat 45 menit. Akupun segera berpamitan tapi sebelum aku pergi aku lihat Kakak tadi membuka tasnya yang cukup besar aku melihat Kitab Tafsir As-Sa’di jilid pertama, serta Majmu Fatawa aku lihat dia mengeluarkan buku yang tak terlalu tebal, “Mungkin buku ini bisa berguna bagi antum, buku ini mengajak kita untuk sedia Istiqomah berdakwah. Ana harus segera balik ke Surabaya karena harus mengurus Organisasi ana.” Aku berterimakasih banyak dan kemudian menuju kerumah.

Sepanjang perjalanan terasa begitu lega aku bersyukur telah bertemu dengan orang seperti itu. Aku kayuh sepedaku cukup cepat hingga pukul 10.30 aku sudah sampai dirumah. Aku menceritakan semua pada Ibu Alhamdulillah beliau pun memaklumi. Dan barang yang dibutuhkanpun ternyata masih tersedia di rumah.

 Sore harinya aku melaksanakan Ashar berjama’ah, selesainya beberapa temanku memainkan rebana aku hanya duduk dipohon jambu biji yang cukup kokoh membaca buku tadi. Selesai bab satu aku palingkan pandanganku ke arah matahari sore yang indah dan aku melihat sang bidadari di jalan bersama kedua orang tuanya, kali ini dengan jilbab yang lebih lebar. Subhanallah indahnya, ternyata rasa ini masih ada.


…………………………………………………………………
Sekian semoga bermanfaat, jelek? Iya sih!!!!!!!
Pradika Annas K. (Aja)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenai Anime Monster (2004)

Trans Semarang dari Poncol ke UNDIP

The Lord Of The Ring dan Optimisme Akan Takdir