Diantara Dua Hati : Persaingan atau Kerja Sama


 Sebagai pelajar khususnya kawan sekalian yang sedang mengejar suatu target anggap sahaja seperti menjadi ranking 1 dikelas, atau masuk kelas unggulan, atau masuk sekolah negeri maupun PTN favourit. Tentunya kalian sadar bahwa kawan sekalian akan menghadapi competitor (lawan atau pesaing dengan kata lain), tentunya juga kawan sekalian sadar bahwa tidak semua anak yang sekelas dan berharap menjadi yang nomor 1 dikelas maka akan bisa mendapatkan impiannya (terkecuali di sekolah impian).

Yah begitulah yang kita hadapi sekarang, suatu system yang kasarnya (menurut ane) akan menindas yang lemah dan menomor satukan yang menang atau dalam artikel ini akan ane sebut persaingan. Salahkah  persaingan tersebut?  Sebelumnya jika salah kenapa bisa dianut oleh orang sedunia, jika salah pula kenapa di sebagian kolom motivasi disebutkan bahwa kita harus menjadi pemenang dalam persaingan? Tentu tidak salah hanya saja ane kurang sreg (pas di hati) pada beberapa hal.

Contohnya ya persaingan seperti yang disebutkan di awal-awal. Tujuan dari bersekolah adalah untuk belajar. Untuk belajar kenapa harus bersaing? Kenapa harus menjadi yang nomor satu dalam proses pembelajaran? Bukankah belajar itu suatu proses yang sama-sama kita lakukan (ga tanya).


Beberapa hari sebelum menulis ini ane baca Novel yang judulnya “Totto-Chan Gadis Kecil di Jendela” yang ceritanya berdasar dari kenangan masa kecil atau sekolah dasar penulisnya Tetsuko Kuroyanagi-san yang sangat  hiperaktif dan anti mainstream pada waktu itu, sehingga ia bahkan dikeluarkan dari sekolahnya pada kelas 1 SD. Singkat kata okaa-san (Ibu) nya mencarikan sekolah baru yang berbeda dari sekolah biasa yang ada di Jepang pada waktu itu (Timeline tahun 40-an sewaktu perang Pasifik akan dimulai). Sekolah itu bernama Tomoe Gakuen sekolah yang hanya diisi oleh 50 siswa dari kelas 1 hingga 6, sekolah yang menjadikan gerbong kereta api sebagai kelasnya. Ditangani oleh kepala sekolah yang juga tidak biasa.

Yang ane dapat setelah membaca buku itu diantaranya adalah hampir tidak terasanya suasana persaingan dalam belajar mengajar. Adapun persaingan salah satunya adalah untuk memeluk dan bergantung pada leher sang kepala sekolah. Suasana belajar tampak sangat menyenangkan karena semua belajar tanpa tekanan dan saling bekerja sama.

Sedangkan yang ane dapati di sini dan dari pandangan teman ane sebagian terlihat berambisi mencapai suatu goal hingga dia menganggap bahwa itu adalah lahan persaingan bukan kerja sama. Mereka tentunya sadar bahwa kuota untuk menjadi yang terpilih dalam persaingan itu terbatas, tidak ada 2 rangking 1 dalam satu kelas.

Mereka yang mempunyai pandangan seperti ini beralasan bahwa untuk bisa lahir ke dunia saja kita harus bersaing dengan 119.999.999 sel sperma lain (kurang lebih sekali ejakulasi mengeluarkan 120 juta sel ayah). Mereka bilang harus berlomba-lomba karena itu lah kita bisa lahir.

Tapi semua itu hanyalah sudut pandang tertentu karena kita tahu sperma dan ovum adalah sel yang tidak memiliki intelegensi juga nurani. Yang mengherankan mengapa tidak berpandangan bahwa sel sperma itu bekerja sama untuk fertilisasi ovum. Ratusan juta sperma itu bekerja sama hanya untuk meloloskan satu sel.

Karena apa? Saat pertama keluar dari kelamin lelaki sel sperma langsung menghadapi kondisi yang sangat berbeda jauh dari kondisi idealnya untuk bertahan. Bisa dari keasaman, lalu system penghalang mikroorganisme jahat di area wanita belum lagi yang berhasil mencapai Rahim atas akan dibagi ke dua jalan yang merupakan oviduk untuk bisa menemukan ovum, setengah yang salah jalan itu akan mati juga. Ditambah lagi hanya satu yang akan bisa mencapai ovum, normalnya setelah difertilisasi satu sperma ovum membentuk senyawa untuk menghalangi sperma lain.

Maka total kematian adalah 119.999.999 sel mati dan 1 berhasil. Ingin dianggap seperti apa? Sel yang kalah itu menghadapi kesialan dan dikalahkan atau sel yang gugur itu Berkorban dan bekerja sama untuk melahirkan kawan ke dunia? Yang mana?? Entahlah, terserah.

Padahal dalam Islam diajarkan untuk berlomba-lomba apa perbedaanya dengan bersaing ya? Begini, hadiah terbesar dari perlombaan kebaikan tentunya dan sewajarnya adalah surga. Yang unik dari hadiah ini adalah dia bersifat unlimited alias tidak terbatas hanya untuk sejumlah orang. Kita dapat berpikir apakah jika kuota surga sudah habis maka yang tidak kebagian kuota akan otomatis masuk neraka sebagus apapun amal dia? Bukankah salah satu nikmat surga itu luasnya yang bagaikan bumi dan langit?

Poinnya dalam perlombaan yang mulia ini jika kamu mendapat hadiah di sini orang lain juga berkesempatan mendapat hadiah yang sama besarnya, sama kualitasnya dengan yang kawan dapat. Tentunya dengan segala perhitungan-NYA.
Untuk Bisa Ke Atas Kita Butuh Seseorang Di Bawah

Contoh lainnya adalah jika kita melihat dari pendekatan kata-kata dalam sejarah. Rasanya rada aneh jika dikatakan negeri-negeri jajahan terutama dunia ketiga dikatakan saling bersaing untuk mendapatkan kemerdekaanya. Karena kemerdekaan itu adalah hal yang terhormat dibumbui dengan perjuangan yang hasilnya dapat dinikmati semuanya. Entah mereka yang merdeka saat itu juga ataupun yang merdeka beberapa decade (Dekade, 10 tahun) setelahnya.

Bukan berarti kita menghilangkan persaingan dari perbendaharaan kamus kita. Kita juga harus bersaing untuk sesuatu yang berharga, seperti apa? Entahlah jawab sendiri ya.
Hanya saja untuk kegiatan belajar mengajar ane pribadi lebih enak tidak memandangnya sebagai persaingan melainkan proses kerja sama. Kata-kata seperti, “Kok bisa sih dia dapat nilai sebagus itu?” atau “Mana bisa kamu dapat 100!” dan lain sebgainya yang mencerminkan suasana persaingan ane ga suka!!! (ga ada yang tanya juga seh, hihi)
At last yang kudapat dari Tomoe Gakuen adalah suasana kerja sama dan pembelajaran yang menyenangkan di sekolah impian itu.

Sok banget artikel ini
11 Sept. 2013.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenai Anime Monster (2004)

Trans Semarang dari Poncol ke UNDIP

The Lord Of The Ring dan Optimisme Akan Takdir