Budaya Mencontek

Pagi hari itu terasa lebih bebas dan lebih menggembirakan dari biasanya, namun juga semakin mencekam. Ya, bebas karena jam masuk dan jam pulang sekolah lebih dekat karena ulangan. Lalu mencekam tentu saja karena ulangan. Jam masih menunjukkan waktu setengah jam sebelum waktu ulangan dimulai murid-murid saling bergerombol mendiskusikan masalah yang mereka hadapi untuk menghadapi ulangan.

Salah satu siswi mengeluhkan, “Haduh, aku lho belum hafal rumusnya.” Ada juga yang berkata, “Tadi malam aku ga bisa belajar loh.” Dengan ekspresi wajah yang memelas, ada pula yang berbangga-bangga, “haha aku ga belajar.” Di sekitar murid-murid lain yang membahas beberapa macam rumus. 

Kemudian masuklah seorang anak, bagai pembawa berita yang sudah disiagakan dengan mata yang tampak berbinar dan ekspresi semangat. Setelah mengambil nafas ia berteriak ke seantero kelas “Eh, temen-temen yang jaga Pak Anu.”

Detik pertama…
Detik kedua…
Detik ketiga…


“Hore!!!” “Yes.!!!” “hahaha.” “Asik.” Di saat yang sama seekor kucing yang kelaparan lewat ia berpikir bahwa para manusia itu pasti mendapat ikan sebesar paus. Atau arwah gentayangan yang gugur saat perang melawan penajajah terbangun dan berpikir bahwa akhirnya bangsa ini mendapatkan kemerdekaannya.

Namun waktu tetaplah waktu ia merupakan suatu dimensi yang tidak bisa didiferensialkan maupun diintegrasikan (iya tidak ya?). Sorak sorai nan membahana yang menggema kurang lebih selama tiga menit kembali menjadi sunyi senyap yang pada akhirnya kembali terusik dengan masuknya Pak Anu sebagai pengawas ujian di ruangan tersebut yang disambut dengan wajah-wajah khas yang berseri-seri.

Kertas ujian penentu masa depan dibagikan, hingga akhirnya bel tanda mengerjakan sudah dimulai. Singkat kata setengah dari waktu ujian yang diberikan para murid itu masih kondusif. Hingga munculnya satu suara “Sst gan nomor 2, 13, 20.” Yang disambut “D, G, H” dari sisi yang berlawanan kemudian ada suara “Ssst, SSSssst, St.” hal itu terus menerus berulang dengan frekuensi yang semakin membesar berbanding lurus dengan berkurangnya waktu ujian. Yang pada akhirnya salng berinterverensi.

Sang pengawas akhirnya mengeluarkan sepatah kata, “Anak-anak kerja sendiri.” Yang bisa meredakan suara-suara makhluk-mahkluk halus tadi, pada akhirnya mereka menggunakan kode-kode jari dan sandiwara yang entah mereka pelajari darimana. Keadaan makin seru saat bel tanda waktu habis berbunyi.
….

Begitulah yang sebagian dari yang kita alami pada saat jam-jam ujian berlangsung. Saya sendiri sudah 6 tahun selalu seperti itu. Ya seperti itulah kurang lebih kondisi kelas saat jam-jam ujian. Bagaimana pendapat kawan sekalian dengan hal yang seperti itu? Apakah kebiasaan seperti itu mau dilanjutkan? Terserah kawan sekalian juga.

Lalu bagaimana dengan mencontek sendiri? Bagaimana pendapat kawan sekalian tentang hal ini. Jika suatu saat kita diberi soal multiple choice yang berbunyi mencontek itu kebiasaan A. Baik B. Buruk manakah yang akan kita pilih mengingat nilai yang ditawarkan pertanyaan itu?

Untuk mencontek pada saat ulangan sendiri pada dasarnya selalu negative mau tanya ke siapa juga pasti negative. Kalau udah ada yang bilang positif maka patut dipertanyakan. Karena pada dasarnya sendiri kita juga tidak akan suka jika orang lain meniru karya-karya kita. Gampangnya kita sudah mikiir susah-susah eh dia tinggal niru.

Apa buktinya contek-mencontek adalah hal negative? Yah itu buktinya, kita melakukannya secara fitrah adalah dengan sembunyi-sembunyi, hal yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena malu dan sungkan apabila dilihat orang lain terutama oleh guru pengawas. Emang ente pikir sedekah apa pake disembunyiin segala? Pernah saat teman meng-kode saya untuk meminta jawaban, spontan saya jawab, “Apa?” dengan volume yang cukup keras hingga bisa terdengar ke seluruh penjuru keras. Semua langsung memberi tatapan ke arah saya dan selesai ulangan dikatakan ‘mateni konco’ atau ‘membunuh teman’.

Malu kepada pengawas dan yang lebih tepat lagi adalah malu kepada diri-sendiri, bagaimana tidak? Waktu ulangan rata-rata adalah 90 menit untuk menghadapi yang 90 menit itu kita diberi waktu belajar berhari-hari. Kita malu sebenarnya apa saja yang telah kita lakukan selama hari-hari itu. Kita juga malu karena kalaupun mendapat nilai bagus maka suatu hari nanti jika menceritakan ke anak-cucu kita akan teringat bahwa nilai 90 yang didapat itu adalah hasil mencontek.

Kalau saya pribadi memandang bahwa mencontek dalam ulangan itu boleh-boleh saja, terserah mau dibilang bagaimana juga terserah. Mungkin karena sudah terlalu sering berada dalam kondisi seperti itu akibatnya menjadi toleran terhadap kebiasaan yang satu itu . 

Bagi saya mencontek bagaikan pedang yang bisa untuk membunuh ataupun melindungi. Mencontek bisa menjadi sebuah racun bagi teman kita apabila ia menjadi kehilangan kepercayaan diri akan jawabannya, nilai yang akan diraihnya, kreativitasnya dalam mengerjakan persoalan dan tidak tanggung jawab atas apa yang ditulisnya di atas kertas. Namun ia juga dapat menjadi penolong bagi kita. Yang bagaimana? Pasti bisalah mengenali saat itu.

Lalu jika boleh kenapa juga terasa tidak pas di hati ? Karena situasi yang tergambar dalam reka ulang adegan di awal-awal tadi bukan hanya sekedar mencontek namun sebuah budaya mencontek, bahkan untuk sebagian sudah terorganisir. Itulah yang memprihatinkan. 

Saya yakin kita sama-sama tidak suka dengan kondisi tersebut. Walaupun kita adalah makhluk social yang membutuhkan makhluk lain serupa untuk memenuhi kebutuhan, namun bagaimana juga kita akan maju jika hanya untuk mengisi kertas kita berkata pada teman, “I’m rely on you.”

“Tapi kalau aku nanti remidi gimana? Hiks, hiks.” 

Sekali kali cobalah buat standar kawan sekalian sendiri jangan hanya terpaku oleh standar nilai yang diberikan oleh sekolah. Misal jika nilai ulangan saya berturut-turut kurang lebih konstan maka saya anggap sebagai kenaikan karena materi semakin sulit dan banyak, jikapun turun maka ia bukan penurunan melainkan konstan.


Juga sekali-kali pujilah diri sendiri sejelek apapun nilai yang diterima jangan mau dikasihani teman saat mendapat nilai jelek.
Lalu untuk ulangan-ulangan selanjutnya bagaimana, masih tetap mau melestarikan budaya? “Peka dong!” Kata salah satu anak cewek.

SSssTTtt..
2 November 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenai Anime Monster (2004)

Trans Semarang dari Poncol ke UNDIP

The Lord Of The Ring dan Optimisme Akan Takdir