Resensi : GINKO


Judul Buku          : Ginko
Pengarang           : Jun’ichi Watanabe
Alih Bahasa         : Istiani Prajoko
Jenis Buku           : Novel Biografis
Penerbit               : Serambi
Cetakan               : Ke-dua Januari 2013
Detail Buku          : 463 Halaman. 20,5 x 13,5 cm


Jun’ichi Watanabe dilahirkan di Hokkaido, Jepang pada 1933. Watanabe-san tertarik dengan dunia tulis menulis saat menempuh sekolah menengah. Ketertarikannya itu berlanjut ketika ia menempuh ilmu kedokteran di Universitas Sapporo dengan mempublikasikan tulisan di sejumlah majalah sastra.

Selepas kuliahnya Watanabe-san membuka praktik sebagai ahli bedah ortopedi. Tapi kemudian ia hijrah ke Tokyo untuk mendalami dunia ke-penulisan. Sejak 1969, ia merintis karier sebagai penulis sepenuhnya.

Junichi Watanabe
“Ginko” (dengan versi bahasa Inggrisnya berjudul “Beyond The Blossoming Fields”) yang menceritakan kisah dokter perempuan berlisensi pertama di Jepang merupakan salah satu novel diantara puluhan novel yang telah ia karang. Seperti Shitsuraken (A Lost Paradise), Hikari to Kage, dan Toki rakujitsu.


Ginko bercerita tentang seorang wanita muda yang terkenal cantik dan cerdas yang pada awalnya hanya seorang gadis desa dengan hobi membaca. Membaca bagi seorang gadis adalah hal yang tidak lazim. Cerita dimulai pada suatu saat Gin yang telah menikah kembali ke kampungnya, Tarawase tanpa ‘izin’ dari keluarga suaminya.

Penyebabnya adalah penyakit yang ditularkan suami Gin pada dirinya. Penyakit itu adalah Gonorhea atau kencing nanah. Impian Gin terbentuk saat ia menyesali bahwa pada saat itu hanya ada dokter lelaki yang ada di Jepang untuk menanganinya.  Ia berpikir mengapa tidak ada saja dokter perempuan bagi perempuan untuk menghormati hak privasi?  Sejak saat itulah perjuangan Gin dimulai.

Perjuangannya dimulai saat harus meminta restu keluarganya tentang mimpinya yang ditentang habis-habisan. Lalu berlanjut kehari-hari yang harus ia jalani menempuh pendidikan yang sangat berat demi mimpinya. Hingga sang cinta pada akhirnya juga turut datang menyapa.

Suasana Jepang tempo dulu berhasil digambarkan oleh Watanabe dengan cukup bagus, ‘meminjam’ latar waktu pada jaman Meiji. Sebagaimana diketahui ada perubahan struktur pemerintahan Jepang yang dikenal dengan restorasi Meiji. Watanabe sanggup membawa pembacanya mengunjungi Jepang tempo dulu dengan digunakannya pembagian waktu dengan tradisional, suasana pedesaan Tarawase dengan sawahnya. Serta bagaimana wanita dipandang pada jaman itu juga sangat terasa.

Sayangnya bagian-bagian akhir dari novel tidak menggambarkan suasana yang happy ending, (malah terasa nyesek). Ginko yang semulanya berhasil menjadi dokter terkemuka, membuang semua itu untuk mengikuti sang suami yang hijrah ke daerah Hokkaido (pada masa itu Hokkaido masih dianggap wilayah asing) ditambah dengan dengan beberapa karakter yang digambarkan meninggal dan yang lebih me-nyesekkan adalah impiannya yang meredup karena perubahan kondisi social pada saat itu.

Tapi setidaknya dengan membaca Novel ini pembaca dapat merasakan perjuangan seseorang yang hadir sebagai ‘outliners’ atau mereka yang keluar dari garis kebiasaan masyarakat. Yang dalam Novel biografis ini mengangkat sosok Ginko Ogino First Licensed (Women) Doctor in Japan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenai Anime Monster (2004)

Trans Semarang dari Poncol ke UNDIP

The Lord Of The Ring dan Optimisme Akan Takdir