Mengenai Komedi, Ketersinggungan, dan Kritik

“We're laughing with you Sandy, not at you!”


Bulan-bulan menjelang akhir tahun 2018 ini, sosial media cukup diramaikan mengenai suatu argumen dalam komedi. Sayangnya bukan karena seberapa lucu materi yang dibawakan, melainkan efek ketersinggungan yang ada setelahnya.

Di satu sisi kita memiliki guyonan yang dibawakan standup comedian yang dituduh melakukan penistaan agama oleh kelompok yang beberapa tahun ini mendapatkan stempel “Sumbu pendek”. Di lain sisi kita memiliki guyonan yang dibawakan oleh salah satu calon presiden mengenai “Tampang Boyolali” yang tentu saja menjadi bahan kritik dari sebagian kelompok lawan politiknya. Tentu saja keduanya pasti beralasan tidak memiliki niatan untuk menyinggung salah satu pihak. Saya masih ingat sebagian orang yang mengatakan bahwa Ustad Abdul Somad menghina sunnah Nabi ketika ditanya kenapa beliau tidak menumbuhkan jenggot, menurut beliau jenggotnya akan terlihat seperti “Jenggot tusuk sate”.


Tentunya kita bisa sepakat bahwa ketersinggungan tidak hanya berasal dari candaan. Tindakan sekecil apapun yang kita lakukan berpotensi untuk menyinggung perasaan seseorang. Contohnya tidak menyapa orang yang kita kenal saat berpapasan ataupun menanyakan sebuah pertanyaan seperti;

 “Kenapa belum selesai juga skripsimu?”

Contoh pertama dapat terjadi secara tidak sengaja, baik karena memang orang tersebut merupakan orang yang menyukai rasa kesendiriannya ataupun sedang tidak berada dalam kondisi untuk menyadari kehadiran orang yang dikenalnya. Tetap saja tindakan seperti ini berpotensi menimbulkan kesan negatif terhadap diri kita ataupun ketersinggungan terhadap orang lain.

“Eh, kamu kok kalau sama aku jutek banget.”

 Contoh kedua justru kebalikannya, pertanyaan tersebut dapat didasari oleh rasa empati kita terhadap orang tersebut dan memiliki niat untuk motivasi orang tersebut, tapi toh tetap saja mampu menimbulkan ketersinggungan. Mungkin hal ini juga berlaku untuk pertanyaan-pertanyaan seperti;

“Udah lulus kok belum kerja?”
“Kamu kok gendutan?”
“Udah nikah kok belum punya anak?”

Saya termasuk mereka yang menikmati komedi yang disajikan oleh Coki dan Muslim. Tapi setelah kolom komentar di media sosial (khususnya pada objek komedi Coki dan Muslim) mulai dipenuhi dengan hashtag #BukanGolonganKami dan sebagainya, hal ini terasa mulai mengganggu. Saya teringat dengan Spongebob episode “Squirrel Jokes”, berawal dari Spongebob yang didapuk menjadi pengisi acara “Comedy Crab” tidak memiliki ide untuk bahan standupnya hingga berakhir menjadi perundungan bagi si tupai laut. Tentu saja SpongeBob tidak memiliki niatan untuk menghina temannya ia berkata, 

“Kami tidak menertawaimu Sandy, kami tertawa bersamamu.”


Apabila tindakan biasa saja memiliki potensi melewati “zona toleransi ketersinggungan” seseorang apalagi menertawakannya dalam sebuah materi komedi. Dari sini saya berpikir bahwa setiap orang memiliki “zona toleransi ketersinggungan nya sendiri terhadap sebuah “tindakan” dan kita tidak bisa serta-merta meminta orang untuk tidak tersinggung atas apa yang kita lakukan. Sedikit aneh rasanya meminta orang untuk mentoleransi “zona toleransi ketersinggungan” kita, namun kita tidak dapat mentoleransi “zona toleransi ketersinggungan” orang itu?. Jadi tersinggung adalah reaksi yang sangat wajar apalagi bila berkaitan dengan prinsip orang tersebut.

Saya tidak tahu apakah pada dasarnya seseorang tidak suka untuk ditertawakan atau tidak. Berbeda lagi apabila kita memang sedang menyusun materi untuk bercanda. Jangankan untuk ditertawakan, untuk dikritik (dengan tujuan membangun) pun sangat mungkin untuk menyinggung seseorang. Dale Carniage mengatakan, 

“Tidak seorang pun - benar-benar seorang pun - suka berada pada posisi menerima sebuah keluhan, kritik, atau ulasan buruk.”

Sehingga beliau memberi beberapa aturan dalam bukunya The Leader in You mengenai pemberian kritik.
  1. .     Ciptakan lingkungan dimana orang yang terlibat mampu menerima kritik yang membangun. Sadari bahwa kesalahan adalah suatu keniscayaan.
  2. .     Pikir dua kali sebelum menyampaikan kritik. Menyalahkan seseorang yang sudah sadar akan kesalahannya tidak membuat keadaan lebih baik.
  3. .     Sampaikan dengan baik jika memang perlu. Bisa diawali dan diakhiri dengan pujian atau pengakuan.

Saya sepakat bahwa memang ada sebagian orang yang tidak bisa membedakan mana kritik sosial terhadap perilaku kehidupan Umat beragama dan penghinaan terhadap agama atau simbol-simbolnya. Di lain sisi saya sendiri belum yakin bisa membedakannya atau tidak. Saya masih ingat dulu ada organisasi mahasiswa yang membuat kampanye “Tuhan Membusuk” yang tentunya dikecam banyak orang, lalu panitia beralasan, “bukan Tuhan Zat Yang Esa, melainkan Tuhan-Tuhan yang tumbuh dalam diri manusia tanpa sadar menimbulkan kemusrikan .” (Ngomong-ngomong tumbuh tapi kok membusuk ya?). 

Bagaimana jika kemudian hari muncul punch line “Islam busuk” pada salah satu materi standup dengan niat, “Bukan Islamnya yang busuk tapi sebagian orang Islam yang korupsi.”. Kembali lagi seperti tadi “Kami tidak menertawaimu Sandy, kami tertawa bersamamu.”. Ya memang kita tidak bisa menghakimi seseorang berdasarkan niatnya

*Ada lo sebagian kecil masyarakat yang benar-benar menghindari komedi karena mereka meyakini bahwa banyak tertawa akan mengeraskan hati.


Jadi kesimpulannya apa? Mana saya tahu saya kan cuma bercanda!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenai Anime Monster (2004)

Trans Semarang dari Poncol ke UNDIP

The Lord Of The Ring dan Optimisme Akan Takdir