Catatan Pendek : Half Earth, Mengkonservasi Setengah Bumi

Ketika membeli buku ini saya tertarik dengan gagasan penulis, Edward O. Wilson yang mengajukan ide untuk mengkonservasi ‘setengah’ Bumi. Namun sayang, gagasannya ini justru hanya di jelaskan dalam salah satu bab terakhir. Itupun lebih membahas hubungan antara luas lanscape dengan keanekaragaman hayati. Berkurangnya kemampuan reading saya menambah kesulitan untuk menangkap dengan jelas gagasan utamanya.



     Mumpung 
saat ini (akhir Oktober 2020) sedang cukup ramai bahasan mengenai proyek pembangunan pada Taman Nasional Komodo. Saya kira bahasan Wilson dalam buku ini bisa bermanfaat sebagai dasar pandangan kita soal keanekaragaman hayati.

E. O. Wilson membagi buku ini dalam tiga bahasan utama yaitu Masalah mengenai keanekaragaman hayati, Realitas dunia kita saat ini, dan Solusi menjaga keanekaragaman hayati yang ia tawarkan.

Punah

Kita sudah akrab dengan cerita meteor yang menabrak bumi 65 juta tahun lalu dan memusnahkan dinosaurus. Diperkirakan ledakannya memusnahkan 70% dari seluruh spesies yang ada di muka bumi. Ledakan ini juga mengakhiri periode geologis Mesozoic (Periode reptil) dan mengawali Cenozoic (Periode mamalia) kita sendiri berada pada fase ke 7 Cenozoic yaitu periode Holocene yang dimulai sejak mencairnya Zaman es pada 11.700 tahun lalu.

Periode-periode ini menandakan perubahan kondisi alam yang signifikan sehingga bisa terdeteksi dalam struktur geologis. Perubahan kondisi alam seperti perubahan iklim yang kita alami saat ini bukan hal yang “asing” bagi bumi. Karbon yang kita buang ke alam saat ini sepertinya bukan apa-apa bagi bumi dibandingkan dengan meteor yang memusnahkan dinosaurus. Namun, hal ini sangat berdampak bagi biosphere.

Wilson mendefinisikan biosphere sebagai keseluruhan organisme yang hidup di planet bumi pada waktu tertentu. Mulai dari bakteri yang bisa terdeteksi pada ketinggian 10.000 mdpl hingga 3 kilometer dibawah tanah dan laut. Organisme-organisme ini membentuk jaringan kompleks yang saling mempengaruhi.

Peran (relung) yang bisa ditempati oleh organisme tertentu pada waktu dan tempat tertentu biasa dikenal dengan istilah Niche. Apabila relung ini ditempati oleh organisme lain maka akan mengakibatkan perubahan pada ekosistemnya, termasuk dengan punahnya beberapa organisme tertentu.

“Each species is a wonder to behold, a long, brilliant history in itself to read, a champion emerged in our time after a long struggle of thousands or millions years…”

Menghitung jumlah spesies yang punah bukanlah perkara mudah. Terlebih jika masih banyak spesies yang belum kita kenali. Sayangnya kepunahan tidak hanya menimpa spesies yang kita kenali, bisa jadi kepunahan terhadap spesies yang belum diketahui justru lebih banyak.

Hal ini menjadi dasar pentingnya upaya konservasi. Dampak kepunahan spesies-spesies tertentu bisa jadi sangat merugikan bagi manusia. Karena kita telah terikat selama 11 ribu tahun terakhir dengan spesies-spesies lainnya dalam satu biosphere.

Walaupun upaya konservasi sudah berjalan puluhan tahun namun usaha ini masih jauh dari cukup untuk mencegah kepunahan akibat perilaku ignorant manusia. Ilmuwan konservasi biasa menggunakan istilah HIPPO untuk menyingkat aktivitas-aktivitas yang dapat mempercepat kepunahan:

Habitat destruction

Invasive species

Pollution

Population growth

Overhunting

Selama salah satu faktor tersebut masih ada, laju kepunahan masih belum bisa dikatakan aman.

Wilson juga mengungkapkan gagasan yang meyakini bahwa usaha konservasi selama ini tidak menghasilkan keuntungan yang signifikan bagi umat manusia. Menurut pandangan kelompok ini manusia sudah mencapai titik kita tidak lagi membutuhkan alam liar termasuk potensi yang ada di dalamnya. Manusia sudah bisa mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri. Manusia harus menegakkan dominasinya di bumi dan spesies-spesies lainnya dinilai berdasarkan kegunaannya terhadap manusia. Ilmuwan konservasi secara umum menolak gagasan ini karena mengedepankan prinsip kehati-hatian.


Bagian ke dua buku membahas lebih detail tentang spesies-spesies tertentu dan ekosistem-ekosistem tertentu. Saya kira bagian ini tidak akan terlalu menarik untuk dipelajari orang-orang umum. Saya sendiri perlu membuka google untuk browsing lokasi taman nasional tertentu atau melihat gambar spesies Evarcha culicivora, Agalychnis moreletii, dll agar sekedar bisa mengikuti apa yang penulis maksudkan.

Bagian akhir buku, seperti yang saya jelaskan diawal menguraikan gagasan Wilson untuk menyelamatkan spesies yang masih tersisa diperlukan setidaknya "setengah" bagian dari ekosistem bumi tidak diintervensi oleh manusia. Seiring dengan berkembangnya teknologi, Wilson optimistik bahwa untuk memenuhi kebutuhannya manusia akan semakin tidak membutuhkan ruang yang luas sehingga ruang-ruang tersebut bisa diberikan pada alam liar. Misalnya, hasil pertanian berkat rekayasa genetik bisa menghasilkan panen lebih banyak sehingga tidak lagi diperlukan pembukaan lahan baru.

Wilson juga optimis, bahwa pertumbuhan penduduk dunia mampu ditekan hingga rasio 2.1 yang berarti untuk setiap pasangan memiliki 2 anak saja bukan 3 seperti saat ini. Rasio tersebut bisa dicapai dengan cara memberikan akses pendidikan dan menyediakan lapangan kerja bagi perempuan.

*sebagai catatan kalau anda belum berpikir kepadatan penduduk adalah suatu masalah jumlah manusia saat ini setidaknya mencapai 7.500.000.000 orang, bandingkan dengan 3.000-5.000 ekor komodo yang tersisa.

Seluruh solusi yang Wilson uraikan, ia ringkas dalam sebuah pesan sederhana.

 

"Do, No futher harm to the biosphere"

 

 Tidak Berguna

        Saya lebih tertarik dengan uraian penulis mengenai peminatan cabang ilmu konservasi itu sendiri. Pada masa kolonialisasi semangat menjelajah dunia baru, termasuk di dalamnya upaya mengenali berbagai spesies di dunia sangat tinggi. Sistem klasifikasi yang menggunakan bahasa latin yang digunakan pada zaman itu masih digunakan hingga saat ini. 

         Zaman terus berubah, penemuan di bidang biologi saat ini tidak mengharuskan seorang ilmuwan untuk menghabiskan waktunya berhari-hari di dalam hutan untuk mencari spesies baru. Berkembangnya ilmu biologi molekuler memberikan kesempatan bagi peneliti untuk menghasilkan suatu penemuan cukup di dalam labolatorium yang ber-AC dengan beberapa jaringan sampel.

        Wilson mengatakan tidak pernah sebelumnya terjadi penurunan yang signifikan jumlah ahli dalam bidang konservasi. Hal ini mengindikasikan cabang ilmu konservasi sendiri bukan lagi cabang ilmu yang diminati. Bahkan, sebagai satu-satunya habitat komodo di dunia Indonesia tidak memiliki ahli komodo [1].

        Saya mengingat saat kecil cukup akrab dengan tokoh seperti Steve Irwin seorang conservationist asal Australia. Sekarang ini saya tidak tahu apakah masih ada anak-anak yang tertarik menonton acara mengenai alam liar.

        Tidak hanya manusia, cabang ilmu yang tidak mampu memberikan keuntungan ekonomi pun akan ditinggalkan. Toh, kita-kita yang kontra dengan pengembangan wisata Taman Nasional Komodo juga bakal lebih memilih karir kekinian seperti Data Scientist, Front-End Developer, dsb daripada menjadi seorang ahli konservasi komodo.

 

 

 

 

[1] http://lipi.go.id/berita/single/di-indonesia-tak-ada-ahli-komodo

 






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenai Anime Monster (2004)

Trans Semarang dari Poncol ke UNDIP

The Lord Of The Ring dan Optimisme Akan Takdir