Mengenai Jilbab

 

Beberapa ocehan teman mengenai Jilbab




Beberapa saat lalu saya lihat salah satu video tiktok dari dari seorang content creator muda. Pesan di video tersebut intinya menyayangkan muslimah yang belum berpakaian syar’i. Sayangnya di videonya ia mengambil salah satu youtuber muslimah yang cukup sering menyuarakan feminisme sebagai contoh. Di kolom komentar si content creator ini tentu saja dihakimi netizen. Video ini sampai juga pada youtuber tersebut dan jargon “Stop telling woman what to wear” pun dilontarkan.

Ngomong-ngomong kenapa tiktok saya isinya seperti ini ya?

Kasian juga sih lihat komentar-komentarnya. Terlebih si tiktoker ini usianya masih usia-usia SMP. Mengurus KTP saja dia masih belum cukup usia, tapi sudah menerima komentar-komentar jahat begitu banyaknya. Untung ketika saya sering bacot di usia-usia SMP dulu algoritma Facebook masih belum mengenal istilah viral ataupun trending.

Menasehati perempuan-perempuan di tiktok untuk berpakaian syar’i sepertinya bukan langkah yang tepat terlebih jika hanya berbekal semangat “Sekedar Mengingatkan”. Okelah jika dikemas melalui bentuk konten, tapi menasehati melalui kolom komentar tampaknya perlu di pikir lebih jauh.

Bukan Begitu Maksudnya

“Stop telling woman what to wear” adalah salah satu bentuk kampanye liberal yang apabila saya pertanyakan saya selalu dikatakan bodoh. Karena saya tidak paham betul batasan aplikasi jargon ini,  saya yakin kalimat ini memiliki batas.

Misalnya ketika seorang guru agama mengajari pakaian yang benar ketika melaksanakan sholat, apakah kalimat “Stop telling woman what to wear” bisa diaplikasikan?

Contoh lain adalah ketika pekerja atau pelajar diminta memakai seragam tertentu di hari tertentu, apakah kalimat “Stop telling woman what to wear” bisa diaplikasikan?


Atau ketika seorang ibu meminta anak remajanya untuk memakai jaket agar tidak kedinginan, apakah kalimat “Stop telling woman what to wear” bisa diaplikasikan?

Jangan-jangan kalimat ini hanya berlaku jika tidak disertai persetujuan oleh perempuan, seperti ketika seorang memintanya berpakaian lebih tertutup dengan alasan ke-shalihah-an?

Saya tidak bisa membayangkan apabila seorang Da’i ditanya bagaimana seharusnya wanita berpakaian, ia akan menjawab “Wanita berhak berpakaian sesuai kehendaknya.” Jangan-jangan kalau ditanya “Bagaimana cara sholat yang benar?” Da’i tersebut bakal menjawab, “Terserah kamu yang penting kamu yakin dengan Tuhan.”

Saya berbaik sangka bukan begitu maksudnya, trus gimana?

Jangan pula dimaknai kalau kita harus menasehati setiap muslimah yang bertemu dengan kita untuk memakai jilbab. Atau menasehati muslimah tertentu yang kita kenal secara periodik mingguan atau bahkan harian.

 


Sekedar Mengingatkan

Saya punya seorang teman, suatu hari ia posting kalau ia sebal dengan “nasehat” sebagian orang mengenai penampilannya. Saya heran padahal setau saya ia sudah ada di skala 7,5 terkadang 8 dari Gambar fase hijrah di atas. Tidak hanya itu di kesehariannya teman saya ini setau saya juga sudah sebisa mungkin bakal menjaga jarak dengan lawan jenis.

Teman saya bercerita kalau ada yang menasehatinya berkenaan dengan pelembab bibir yang dia pakai. Si Penasehat ini menasehati kalau pelembab bibirnya termasuk ‘perhiasan yang berlebihan’. Teman saya tampaknya tersinggung karena ia memang memiliki masalah tertentu bila tidak memakai pelembab bibir.

Saya geleng-geleng kepala, tapi toh yang sudah bercadar saja bakal diberi nasehat untuk tidak berfoto di media sosial. Tampaknya memang ada sebagian dari kita yang menghendaki perempuan benar-benar tersembunyi total dari pandangan lelaki. Mungkin suara perempuan juga aurat bagi mereka. Untuk tingkat ini mohon maaf saya tidak bisa sepakat. Menasehati seorang perempuan yang sudah bercadar untuk tidak berfoto di media sosial rasanya keimanan saya jauh banget untuk sampe segitu.

Kulture ‘sekedar mengingatkan’ ini oleh muslim luar negeri diplesetkan dengan istilah Haram Police. Penganut kultur ini bisa didefinisikan sebagai

(uncountable). (rare) Hardline or judgemental Muslim(s) who frequently and bossily point out sins.
Seperti polisi yang tugasnya menindak pelanggar lalu lintas, Haram Police juga tidak segan mencari-cari setiap tindakan yang tidak syar’i sebisa mungkin.

Saya yakin mayoritas muslimah sudah tau mengenai kewajiban berjilbab. Mengenai kapan ia memulainya biarlah itu menjadi urusannya dengan Allah subhanaahu wa ta’ala. Pertanyakanlah lagi kapan dimana dan bagaimana seharusnya kita mengingatkan, terlebih apabila kita bukan inner circlenya.



Ribet

Pernah ibu saya bercerita mengenai salah seorang tetangga.  Si tetangga ini dalam berbusana memakai jilbab syar’i termasuk jika harus keluar rumah sebentar saja (Which is good, btw). Ibu saya berceloteh kalau menunggu tetangga kami satu ini keluar rumah relatif cukup lama dibandingkan tetangga lain karena ia harus memakai jilbab syar’i full armor. Ibu saya sendiri baru memakai full armor pada kegiatan tertentu, seringnya menggunakan light armor apabila keluar rumah untuk aktivitas rutin, sedangkan untuk keluar rumah hingga radius 10 meter saya tidak sanggup apabila harus setiap saat mengingatkan untuk memakai hijab.

Saya juga pernah mendengar cerita mengenai kenalan saya dimana atasannya tidak ‘sreg’ dengan pakaian Syar’i nya. Dengar-dengar atasanya memandang pakaian kenalan saya itu ribet dan memberi kesan tidak bisa bekerja cepat.

Saya sendiri berpikiran kalau jilbab syar’i tidak akan merepotkan bagi jenis pekerjaan kantoran yang tidak menuntut aktivitas fisik tertentu. Hal ini tentu berbeda dengan aktivitas yang membutuhkan mobilitas tubuh yang cukup tinggi. Cobalah ke desa dan pasar tradisionalnya. Secara turun-temurun dan berabad-abad nenek-nekek dan bulek-bulek kita seringkali turun ke sawah untuk macul, ngarit, ngemet ataupun memikul beban puluhan kilo untuk dibawa dari/ke pasar. Kalau sampai anda menghakimi mereka imannya patut dipertanyakan karena tidak memakai jilbab syar’i sih, tampaknya saya ga bisa menjadi bagian dari tongkrongan anda.

Light Armor


 
Full Armor


Tertegun

Pernah pula organisasi saya mengadakan kajian mengenai penulisan yang diadakan di masjid fakultas. Alhamdulillah acara tersebut bisa menghadirkan lebih banyak peserta daripada kajian-kajian yang rutin. Walaupun saya sering berbeda pendapat dengan beberapa pengurus tertentu ada satu hal yang membuat kami sama-sama tertegun pada hari itu.

Kejadiannya adalah diantara puluhan peserta muslimah yang berhijab terdapat satu orang wanita yang tidak berhijab mengikuti kajian hingga selesai. Saya yang sedang tertegun sendiri disadarkan oleh teman saya yang mengungkapkan kesenangannya dengan berkata, “akhirnya acara kita ga dihadiri yang berjilbab aja.”

Batasan

Walaupun pada beberapa contoh pengalaman di atas saya cenderung … (apa ya?) berkomentar miring mengenai jilbab syar’i, saya sendiri masih berkeyakinan bahwa jilbab, hijab, atau khimar memiliki pijakan agama. Hijab atau perintah untuk muslimah untuk berpakaian tertentu bukan murni produk kebudayaan yang lepas dari aturan-aturan fiqih agama. Akal saya terlalu dangkal untuk memahami argumen yang mengatakan bahwa Hijab dengan segala istilahnya bukan merupakan bagian dari agama Islam dan seorang muslimah sama sekali tidak memiliki kewajiban untuk mengenakannya.

Saya mengambil pandangan salah seorang penceramah (saya lupa siapa) sebagai batasan saya. Beliau mengatakan bahwa Hijab dsb merupakan bagian dari agama karena ayatnya begitu jelas terang-benderang. Namun, bagi beliau yang menjadi masalah sekarang ini terutama di media sosial kewajiban berhijab seolah-olah melebihi kewajiban seorang muslimah terhadap pilar-pilar agama lainnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenai Anime Monster (2004)

Trans Semarang dari Poncol ke UNDIP

The Lord Of The Ring dan Optimisme Akan Takdir