Mengenai Sarjana yang Menjadi Ibu Rumah Tangga

    Pada semester akhir kuliah, Saya mengikuti kelas mengenai pengenalan dasar Manajemen Mutu ISO 9001:2015. Saat itu pemateri memberikan pertanyaan, "Apa output utama dari perguruan tinggi?"

Ketika saya mau menjawab 

"Publikasi ilmiah dan kegiatan pemberdayaan masyarakat.", 

ada peserta lain menjawab terlebih dahulu dan jawaban tersebut dibenarkan oleh pemateri, 

"Ya benar, penyerapan alumni di lapangan kerja."


Sejenak saya cukup terkejut, sepertinya selama ini saya salah memaknai apa fungsi pendidikan tinggi.

    Tentunya saya tidak menafikkan bahwa alasan saya untuk menempuh pendidikan tinggi adalah untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Namun, hal-hal yang saya pelajari selama masa-masa kuliah seperti membuat saya lupa bahwa tujuan utama kuliah adalah untuk mendapatkan pekerjaan. Seolah-olah saya sudah lupa bahwa Universitas memiliki orientasi untuk menghasilkan cetakan alumni yang menyesuaikan lapangan kerja. 

    Tampaknya pandangan saya dulu terlalu idealis. Hingga akhirnya realita menampar saya. Sulitnya mencari pekerjaan saya alami dan pada akhirnya saya terpaksa menyetujui pandangan tersebut. Ya kita kuliah untuk cari duit!


Mawar

    Hal ini cukup bertentangan dengan narasi yang beberapa kali beredar di timeline sosial media saya. Narasi ini mengatakan bahwa 

Tidak ada salahnya kuliah kemudian menjadi ibu rumah tangga. Karena seorang ibu akan menjadi sekolah pertama bagi anak-anaknya.


    Pada intinya narasi semacam itu menjadi jawaban bagi mereka yang mempersalahkan seorang wisudawati memilih untuk tidak berkarir dan menjadi ibu rumah tangga. Saya sangat setuju dengan pandangan ini jika hal tersebut dinilai dari skala individu. Namun, jika dinilai dalam skala yang lebih besar menurut saya hal ini bermasalah.

    Misalkan, saya punya teman satu jurusan namanya Mawar. Begitu wisuda Mawar memberi kabar bahwa dia sudah dipinang oleh calonnya dan mereka sepakat bahwa Mawar tidak perlu mencari kerja. Tentu saja saya akan turut berbahagia dan mendo'akan yang terbaik atas pilihannya.

    Namun jika seluruh teman wanita di jurusan saya memutuskan hal yang sama, maka saya akan berpikir apakah ada yang salah dari jurusan saya?

    Secara statistik hal tersebut akan menurunkan rata-rata penghasilan fresh graduate pada jurusan saya dan memperlama rata-rata waktu keberterimaan kerja alumni jurusan saya. Dimana hal tersebut bukan hal yang bagus untuk dipresentasikan kepada calon-calon mahasiswa baru ataupun dunia kerja.

    Mohon jangan disalahpahami saya sama sekali tidak memandang rendah mereka yang memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga. Ibu saya sendiri juga seperti itu. Bahkan beliau tidak sempat merasakan pendidikan selepas SMA.

    Begitu pula apabila pasangan saya nantinya -setelah melalui mekanisme musyawarah internal- memutuskan untuk tidak bekerja maka itu merupakan pilihan hidup yang harus dijalani.

    Pandangan saya terkait isu-isu gender cenderung konservatif. Tulisan ini pun tidak berangkat dari semangat gerakan feminisme yang mengglorifikasi -kesempatan- wanita untuk berkarir. Namun, memaklumi apalagi mendorong narasi wanita lulusan pendidikan tinggi untuk menjadi ibu rumah tangga perlu dipikirkan kembali.


Nilai intrinsik

    Memang benar ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya sehingga memiliki seorang ibu yang berwawasan luas akan sangat baik. Namun, kurikulum pendidikan tinggi tidak diarahkan untuk mencetak seorang Ibu. Kurikulum yang ada dirancang untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang ada di pasar.

    Saya tidak pernah mempelajari serba-serbi rumah tangga mulai kelas dari pra-nikah, pernikahan, hubungan intim suami-istri, bagaimana menjaga kehamilan dan membesarkan anak melalui pelajaran di bangku kuliah.

    Memang benar bahwa proses akademik maupun non-akademik yang dipelajari selama kuliah memiliki nilai-nilai intrinsik seperti literasi, manajemen dasar, kedisiplinan, maupun komunikasi. Nilai-nilai tersebut memang dapat menjadi dasar untuk diterapkan pada kehidupan rumah tangga.

    Tapi bukankah nilai-nilai tersebut juga bisa didapatkan di luar ruang perkuliahan? Misalnya melalui organisasi kemasyarakatan, komunitas sosial, ataupun kelompok bisnis kecil.

    Ketika saya memiliki kriteria bahwa pasangan saya harus setidaknya pernah mengeyam pendidikan tinggi, Saya mengharapkannya telah mempelajari nilai-nilai intrinsik tersebut. Saya sama sekali tidak mengharapkannya bisa menjabarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, merancang Sistem Pembuangan Air Limbah perkotaan, ataupun mengerti konsep fisika kuantum. 

    Jika nilai-nilai tersebut sudah bisa ia dapatkan sekalipun tidak kuliah maka ia sudah masuk kriteria saya.


Bisa saja

    Saya mengingat ketika masih berorganisasi, kami harus mengirimkan beberapa kader kami untuk mengikuti pengkaderan tingkat lanjut. Harapannya adalah mereka yang mengikuti pengkaderan tingkat lanjut ini dapat mengaplikasikan ilmunya dengan melanjutkan keterlibatannya pada organisasi kami. Minimal dengan menjadi pengurus inti. 

    Pasca pengkaderan apabila mereka secara personal justru memilih untuk berbelok dengan bergabung ke organisasi lain, fokus pada akademis, ataupun membuka bisnis sendiri. Saya tentu saja tidak akan menghalangi, namun akan menjadi suatu masalah pada struktur keanggotaan apabila semua anggota yang kami kirim ke pengkaderan tingkat lanjut memutuskan untuk tidak berjalan bersama lagi.

    Tentu saja saya menilai fenomena ini dari sudut pandang yang sempit. Bisa saja mereka yang memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga di kemudian hari memilih bekerja ataupun membuka bisnis yang suksesnya melebihi mereka yang memilih langsung berkarir pasca lulus. Atau dalam jangka panjang bisa saja anak-anak mereka menjadi anak-anak yang memiliki privilege karena ibunya seorang sarjana.

    Hanya saja, saya rasa kebanyakan dari kita menikmati kuliah dengan biaya yang disubsidi oleh rakyat. Setidaknya pikirkan bagaimana masa kuliah empat tahun yang kita jalani dapat memberi manfaat bagi masyarakat. Secara singkat dan tidak muluk-muluk tentu dengan bekerja dan ikut memutar roda ekonomi.

 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenai Anime Monster (2004)

Trans Semarang dari Poncol ke UNDIP

The Lord Of The Ring dan Optimisme Akan Takdir